Ojol Mengadu ke DPR, Minta Potongan Aplikator Jadi 10 Persen

- Puluhan perwakilan asosiasi pengemudi daring desak pemerintah dan legislatif membatasi potongan biaya aplikasi maksimal 10 persen.
- 66 asosiasi pengemudi angkutan berbasis aplikasi hadir dalam rapat dengan Komisi V DPR, mengkritik tidak transparannya sistem perhitungan tarif oleh aplikator.
- Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia, Igun Wicaksono, menjelaskan dasar tuntutan potongan 10 persen berasal dari akumulasi potongan yang selama ini dianggap berlebihan.
Jakarta, FORTUNE - Puluhan perwakilan asosiasi pengemudi ojek daring dari berbagai wilayah di Indonesia mendesak pemerintah dan legislatif mengambil langkah tegas terhadap praktik pemotongan komisi oleh aplikator. Praktik ini dinilai merugikan mitra pengemudi. Desakan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi V DPR, Rabu (21/5).
Tuntutan utama para pengemudi jelas: potongan biaya aplikasi maksimal 10 persen. Selama ini, mereka menilai aplikator seperti Gojek dan Grab mengambil bagian terlalu besar dari penghasilan, bahkan melebihi batas maksimal 20 persen yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP.101/2022.
“Kami ini seperti sapi perah. Sudah lebih dari 10 tahun kami jalan tanpa kejelasan. Mereka tidak pernah menghitung beban operasional kami—bensin, perawatan motor, dan biaya lain. Tapi potongan tetap jalan terus, kadang sampai 40-50 persen,” kata Ade Armansyah, perwakilan dari Aliansi Korban Aplikator, dalam RDPU tersebut.
Rapat dihadiri 66 asosiasi pengemudi angkutan berbasis aplikasi.
Ade juga mengkritik ketidaktransparanan sistem perhitungan tarif (argo) oleh aplikator.
“Kami tidak pernah tahu variabel apa yang mereka pakai. Argo bisa Rp3.300, tapi dasar perhitungannya apa? Kami tidak pernah diajak bicara,” ujarnya.
Padahal, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP.101/2022 telah menetapkan potongan aplikator terhadap pengemudi tidak boleh melebihi 20 persen. Namun, dalam praktiknya, para pengemudi menilai pengawasan dan penegakan hukum tidak efektif.
“Regulasi itu ada, tapi aplikator tidak pernah jalankan. Kami ini hanya ingin pemerintah tegakkan aturan yang sudah dibuatnya sendiri,” ujar Ade.
Dalam forum tersebut, para mitra pengemudi menyuarakan kondisi kerja yang dinilai timpang dan tidak pasti. Mereka merasa diperlakukan seperti pekerja tetap, tapi tanpa perlindungan hukum yang layak.
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia, Igun Wicaksono, menjelaskan dasar tuntutan potongan 10 persen berasal dari akumulasi potongan yang selama ini dianggap berlebihan.
“Regulasi jelas menyebutkan batas maksimal komisi 20 persen. Tapi kenyataannya, aplikator memotong hingga hampir 50 persen, setiap hari, selama bertahun-tahun. Kalau dihitung, triliunan rupiah telah diambil dari penghasilan kami,” ujarnya.
Menurut Igun, aksi mogok nasional pada 20 Mei lalu adalah bentuk kekecewaan terhadap mandeknya proses negosiasi dengan Kementerian Perhubungan. Ia menyebut pertemuan terakhir dengan pihak kementerian tidak membuahkan hasil, bahkan berujung deadlock.
“Karena itu kami datang ke DPR. Kami hanya ingin bagian yang adil: aplikator cukup ambil 10 persen, sisanya biarkan jadi milik driver. Itu hak kami, karena kamilah yang di jalan, menanggung risiko setiap hari,” ujarnya.
Igun juga memperingatkan bahwa jika hingga akhir Mei tidak ada keputusan konkret dari pemerintah, aksi lanjutan dalam skala yang lebih besar akan digelar.
“Rekan-rekan kami dari seluruh Indonesia sudah datang ke Jakarta, menempuh ratusan kilometer. Kalau sampai bulan ini tidak ada kepastian, kami akan turun lagi, lebih besar,” ujarnya.
Para pengemudi berharap DPR dapat mendorong pemerintah agar lebih berpihak kepada jutaan mitra yang selama ini berada pada garda depan layanan transportasi digital, tetapi merasa diperlakukan sebagai pelengkap semata.