Menimbang Untung Rugi Ojol jadi Karyawan Tetap, Mana yang Tepat?

- ASPEK Indonesia menuntut pengemudi ojol dijadikan karyawan tetap untuk perlindungan lebih baik seperti tunjangan kesehatan, asuransi, dan jaminan pensiun.
- Econom Senior Universitas Paramadina mengusulkan agar kebijakan ini dipertimbangkan dengan hati-hati karena status karyawan tetap bisa hilangkan insentif bagi pengemudi.
- Menteri UMKM mengusulkan agar pengemudi ojol dimasukkan sebagai bagian dari pelaku UMKM untuk memungkinkan mereka mempertahankan fleksibilitas kerja sambil mendapatkan keuntungan dari berbagai program UMKM.
Jakarta, FORTUNE – Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menuntut agar mitra pengemudi ojek online (ojol) dijadikan pekerja tetap. Wacana ini juga muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran mengenai perlindungan yang kurang memadai bagi para pengemudi, terutama dalam hal jaminan sosial dan hak-hak pekerja lainnya.
Kondisi ini memicu sejumlah pendapat dari berbagai pihak, mulai dari ahli ekonomi, aplikator, hingga pengemudi itu sendiri. Di satu sisi, ada yang melihatnya sebagai langkah positif dalam memberikan perlindungan lebih kepada pengemudi, namun ada pula yang menganggapnya dapat merugikan banyak pihak.
Menurut ASPEK Indonesia, dengan menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap, mereka akan memperoleh perlindungan yang lebih baik seperti tunjangan kesehatan, asuransi, dan jaminan pensiun yang selama ini belum sepenuhnya mereka terima dalam status kerja yang fleksibel.
Status karyawan tetap bisa hilangkan insentif

Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengusulkan agar kebijakan ini dipertimbangkan dengan hati-hati. Menurutnya, kebijakan seperti ini harus mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan industri yang dapat menyediakan banyak peluang kerja bagi masyarakat dengan fleksibilitas tinggi.
"Kebijakan ini harus dilihat dari berbagai aspek, tidak hanya dari sisi perlindungan sosial tetapi juga dampaknya terhadap model bisnis dan daya saing industri. Jika status pengemudi diubah, bisa jadi banyak orang yang menginginkan pekerjaan fleksibel dengan pendapatan harian akan kehilangan kesempatan,” kata Wijayanto beberapa waktu lalu kepada media.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengingatkan, jika kebijakan karyawan tetap ini diterapkan, harus dipertimbangkan apakah struktur gaji tetap akan menciptakan insentif yang memadai bagi pengemudi. Bisa jadi, status karyawan tetap dapat menghilangkan insentif bagi pengemudi.
“Jika diubah menjadi pekerja tetap, jumlah pekerjaan yang dapat diambil akan terbatas, yang mungkin akan merugikan mereka yang bergantung pada insentif penghasilan lebih tinggi saat jam sibuk,” ujar Nailul.
Ini tanggapan para aplikator

Pendapat dari pihak aplikator mengenai wacana ini juga beragam. Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, menyampaikan bahwa kebijakan ini justru bisa merugikan ekosistem transportasi digital yang telah terbentuk. "Jika pengemudi menjadi karyawan, maka akan ada seleksi, kuota, dan pembatasan jam kerja. Saat ini, siapa pun bisa mendaftar dan langsung bekerja tanpa batasan waktu,” jelas Tirza saat ditemui beberapa waktu lalu.
Ia juga mengingatkan bahwa skema kerja saat ini justru berfungsi sebagai bantalan sosial bagi banyak orang, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi. “Jika kita ubah semuanya jadi karyawan, barrier to entry akan naik. Hanya sebagian orang yang akan bisa bekerja, sementara jutaan yang lain kehilangan akses untuk mencari nafkah,” ungkap Tirza.
Dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh para mitra pengemudi, tetapi juga pada banyak usaha kecil dan menengah (UMKM) yang bergantung pada layanan GrabFood, GrabMart, dan lainnya.
Lebih lanjut, Tirza juga menambahkan bahwa jika pengemudi diubah menjadi pekerja tetap, perusahaan akan menanggung biaya tetap yang mungkin tidak selalu sebanding dengan tingkat permintaan. “Biaya operasional bisa melonjak, yang pada akhirnya akan berdampak pada harga layanan yang harus dibayar oleh konsumen,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Utama GoTo, Andre Soelistyo juga sempat mengungkapkan bahwa 50 persen pengemudi aktif Gojek bekerja sebagai part timer. Artinya mereka bekerja sebagai pegawai ataupun mahasiswa, namun juga mencari tambahan sebagai driver ojol.
"Bahwa kalau ada kesempatan kerja tambahan menambahkan income semua ingin melakukan. Apalagi memang kami lihat, semua mitra tekadnya kuat untuk maju. Jadi kalau dilihat black and white tetap atau tidak tetap itu kalau kita membicarakan seperti itu konsekuensi terhadap kesempatan kerja tidak dilihat secara menyeluruh," jelasnya.
Driver ojol bisa masuk kategori UMKM

Sementara itu, sebagai jalan tengah Menteri Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman mengusulkan agar pengemudi ojol dimasukkan sebagai bagian dari pelaku UMKM. Gagasan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk ekonom Wijayanto Samirin, yang menilai bahwa ini adalah langkah yang sangat tepat.
"Dengan bendera sebagai UMKM, mereka bisa bertumbuh kegiatannya, dari sebagai driver saja hingga merambah aktivitas bisnis lainnya. Ada peluang berkembang, merambah bisnis lain. Selain itu, akses kredit bersubsidi untuk UMKM dan berbagai program di bawah Kementerian UMKM," ujar Wijayanto.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Izzudin Al Farras, Head of Center Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), yang melihat gagasan ini sebagai jalan tengah yang memungkinkan para pengemudi untuk tetap mempertahankan fleksibilitas kerja sambil mendapatkan keuntungan dari berbagai program UMKM.
"Jika aspek tentang kerangka kebijakan yang memastikan bahwa pengemudi ojol harus terdaftar sebagai UMKM itu ada, maka ini membuka kesempatan bagi pengemudi untuk mendapatkan benefit sebagai pelaku usaha," kata Izzudin.
Jika kebijakan ini diterapkan, dampaknya mungkin tidak hanya dirasakan oleh pengemudi ojol, tetapi juga pekerja di sektor digital lainnya, seperti kurir makanan atau pengemudi pengantaran barang. Mereka juga kemungkinan akan menginginkan perlakuan yang sama. Hal ini dapat menciptakan tekanan pada kebijakan untuk menjadikan lebih banyak sektor pekerjaan digital sebagai pekerjaan tetap, yang dapat memperumit regulasi dan kebijakan industri secara keseluruhan.