Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Petani Tuding Kebijakan Larangan Ekspor CPO Sebab NTP Mei Turun

Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (9/5/2022). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/pras.

Jakarta, FORTUNE – Serikat Petani Indonesia (SPI) menuding kebijakan larangan ekspor CPO yang sempat diberlakukan telah berdampak terhadap Nilai Tukar Petani (NTP) Mei 2022. Pada periode tersebut NTP mencapai 105,41 atau turun 2,81 persen ketimbang bulan sebelumnya.

“Penurunan NTP perkebunan yang selama ini tumbuh terus disebabkan dampak dari penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di berbagai sentra sawit, ketika pemerintah memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor CPO,” ujar Ketua Departemen Pengkajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI, Mujahid Widian, dalam keterangannya, Senin (6/6).

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (2/6), penurunan NTP Nasional Mei 2022 disebabkan Indeks Harga yang diterima Petani (lt) turun 2,37 persen, sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) naik 0,46 persen.

Penurunan NTP Mei 2022 juga dipengaruhi oleh turunnya dua subsektor yakni NTP subsektor tanaman pangan (0,32 persen); dan NTP subsektor perkebunan rakyat (9,29 persen). Sementara itu, tiga subsektor lainnya mengalami kenaikan yakni subsektor hortikultura (2,75 persen); subsektor peternakan (0,77 persen); dan subsektor perikanan (0,26 persen).

Penurunan lt terjadi pada subsektor tanaman perkebunan rakyat mencapai 8,82 persen, dan kenaikan terjadi pada lb mencapai 0,51 persen.

Harga TBS belum normal

Dia mengaku mendapatkan laporan dari petani Sumatera Utara, Jambi, Riau, dan Sumatera Barat yang menyebut harga TBS belum kembali  menjadi sebelum kebijakan larangan ekspor CPO berlaku. Saat ini harga TBS di tingkat petani bervariasi mulai dari Rp1.600–Rp1.800 per kilogram; di tingkat Pabrik Kelapa Sawit (PKS) lebih tinggi sedikit, tapi di kisaran Rp1.900–Rp2.000 per kilogram.

“Kondisi menjadi semakin sulit karena di saat yang sama harga pupuk mengalami kenaikan yang tinggi, bisa dilihat dari indeks biaya produksi dan tambahan modal. Ini yang memberatkan petani perkebun rakyat," ujarnya.

NTP Tanaman Pangan juga turun

Petani merontokan bulir padi hasil panen raya di Desa Samahani, Kecamatan Kuta Malaka, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (10/4/2022). ANTARA FOTO/Ampelsa/nym.

NTP subsektor lainnya yang mengalami penurunan mengacu pada tanaman pangan, yakni 0,32 persen dibandingkan bulan sebelumnya. BPS menyebutkan terjadi kenaikan lt sebesar 0,15 persen, namun masih lebih rendah dari kenaikan lb yang sebesar 0,93 persen.

Menurutnya, NTP subsektor tanaman pangan berada di bawah standar impas selama 3 bulan belakangan. Di beberapa wilayah seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah, Mujahid menyebut faktor cuaca menjadi momok.

“Curah hujan dengan intensitas tinggi mengakibatkan tanaman banyak yang lembap dan terancam gagal panen,” katanya.

Sementara itu, NTP subsektor hortikultura naik cukup besar yakni 2,75 persen, yang diakibatkan terjadinya kenaikan lt sebesar 3,23 persen lebih tinggi dari peningkatan lb yang sebesar 0,46 persen.

“Kenaikan subsektor hortikultura dapat dilihat dari naiknya harga kelompok sayur-sayuran cabai, khususnya komoditas cabai merah ataupun rawit,” ujarnya.

Pemerintah harus ambil kebijakan

Dia meminta agar pemerintah segera mengambil kebijakan dan strategi jangka pendek dan panjang untuk mengatasi keadaan tersebut. Pertama, jangka pendek pemerintah perlu memastikan bagaimana subsektor-subsektor pertanian yang sedang turun dapat bangkit lagi.

Dalam konteks sawit, kebutuhan dalam negeri harus menjadi prioritas utama, sehingga harga pangan dapat stabil. Kenaikan NTP perkebunan beberapa bulan lalu belum menjamin kenaikan pendapatan petani-petani perkebunan anggota SPI. Selain itu, pemerintah melalui BUMN juga dapat mengambil peran yang lebih sentral.

Mulai dari mengurus turunan strategis produksi sawit, untuk memproduksi minyak goreng atau kepentingan strategis lainnya.

 “Sementara untuk jangka panjang, SPI lagi-lagi menekankan mendesaknya prinsip-prinsip kedaulatan pangan dijadikan dasar pertanian di Indonesia. Hal ini tentu harus dimulai dari terpenuhinya hak-hak petani dan produsen pangan skala kecil lainnya atas faktor-faktor produksi, (tanah dan air), akses terhadap benih lokal, akses terhadap pasar dan bantuan keuangan dinikmati secara utuh,” katanya.
 

Share
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
Eko Wahyudi
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us