PHK Awal 2025 Hantam 74 Ribu Pekerja, Apindo: Tren Terus Meningkat

- 73.992 pekerja mengalami PHK sejak 1 Januari hingga 10 Maret 2025.
- 154.010 pekerja mengajukan klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan akibat PHK sepanjang 2024.
- 65 persen perusahaan memilih PHK sebagai langkah akibat penurunan permintaan pasar, biaya produksi tinggi, kebijakan ketenagakerjaan, tekanan produk impor, dan faktor otomasi dan teknologi.
Jakarta, FORTUNE - Kabar buruk menyelimuti sektor ketenagakerjaan Indonesia. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap data mencemaskan: 73.992 pekerja telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dalam kurun 1 Januari hingga 10 Maret 2025. Angka yang merujuk pada data peserta nonaktif BPJS Ketenagakerjaan ini menandakan situasi genting yang memerlukan perhatian segera, terutama di tengah lesunya sektor industri padat karya.
Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menyuarakan keprihatinan mendalam atas lonjakan kasus PHK yang dinilainya telah mencapai level mengkhawatirkan. Selain jumlahnya yang terus membengkak, pelemahan aktivitas sektor industri, khususnya industri padat karya, semakin memperkeruh kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air.
"Melihat tren PHK yang terus naik, kami jadi semakin khawatir. Apalagi jika melihat proyeksi kuartal II dan III, belum terlihat adanya tanda-tanda perbaikan," ujar Shinta dalam acara Media Briefing Apindo Indonesia Quarterly Update di Jakarta, Selasa (13/5).
Data pendukung juga menunjukkan tren suram. Shinta memaparkan sepanjang 2024 ada 154.010 pekerja yang mengajukan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan akibat PHK. Sementara itu, pada periode awal 2025 hingga Maret saja, jumlah klaim serupa telah diajukan oleh 40.683 orang.
Ironisnya, di tengah badai PHK, Shinta menyadari Indonesia perlu menciptakan antara 3 hingga 4 juta lapangan kerja baru. Kebutuhan ini mendesak karena lapangan kerja yang tersedia saat ini dinilai belum cukup menyerap seluruh angkatan kerja, terutama mereka yang baru saja kehilangan pekerjaan.
"Investasi memang membantu menciptakan pekerjaan baru, tetapi jumlahnya masih belum mampu menutupi kebutuhan pasar tenaga kerja kita yang besar. Apalagi, tren PHK masih terus meningkat," katanya.
Lebih lanjut, Shinta membeberkan hasil survei Apindo yang dilakukan terhadap 357 perusahaan anggota pada Maret 2025. Temuan survei menunjukkan mayoritas perusahaan, yakni 65 persen, terpaksa memilih opsi PHK sebagai respons terhadap penurunan permintaan pasar.
Faktor lain yang mendorong PHK adalah tingginya biaya produksi, yang diungkapkan oleh 43,4 persen perusahaan. Sebanyak 33,2 persen perusahaan lainnya terdorong melakukan efisiensi akibat perubahan kebijakan ketenagakerjaan, termasuk implikasi kenaikan upah minimum.
Selain itu, tekanan dari produk impor memaksa 21,4 persen perusahaan melakukan PHK, sementara 20,9 persen lainnya menyebut faktor otomasi dan adopsi teknologi sebagai pemicu. Yang juga menjadi sorotan tajam adalah fakta sekitar 67,1 persen dari perusahaan yang disurvei menyatakan tidak memiliki rencana melakukan investasi baru dalam satu tahun ke depan, sebuah sinyal pesimisme di kalangan pelaku usaha.
Melihat kondisi pelik ini, Shinta menekankan pentingnya langkah konkret dan segera demi memperkuat sektor industri padat karya yang kini tengah terpuruk.
"Oleh karena itu, revitalisasi industri padat karya menjadi sangat mendesak. Gelombang PHK ini harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak," ujarnya.