SiBerkreasi Ungkap Masalah Kesenjangan dalam Atasi Literasi Digital
Indeks literasi digital RI masih di 3,65 dari skala 5.
Jakarta, FORTUNE – Gerakan nasional yang fokus pada potensi bahaya digital di Indonesia, SiBerkreasi, menyebut bahwa gap antara para pemangku kepentingan–seperti Kementerian/Lembaga (K/L)–masih jadi tantangan peningkatan Literasi Digital di Indonesia.
Wakil Ketua Umum SiBerkreasi, Mira Sahid, mengungkapkan bahwa Indeks Literasi Digital Indonesia di kuartal III 2024 masih berada di level 3,65 dari skala 5, sehingga perlu dioptimalisasi.
“Kalau pondasi-pondasi ini tidak mau bekerja sama atau belum berkolaborasi, ya pasti merangkaknya lama untuk menuju indeks empat poin,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Kamis (7/11).
Upaya yang menurutnya masih jalan di tempat misalnya ketika ingin menyertakan topik literasi digital dalam kurikulum nasional di Indonesia, demi membangub pondasi kuat bagi masyarakat dalam menghadapi perkembangan teknologi. SiBerkreasi, yang telah berusaha untuk mengkoordinasikan gagasan ini dengan para mitra, termasuk K/L, hingga saat ini belum memperoleh perkembangan yang signifikan.
Pentingnya literasi digital
Literasi digital penting di tengah perkembangan teknologi, khususnya dalam menghadapi bahaya konten negatif yang bisa terjadi di ranah daring, seperti misinformasi (hoax), cyberbullying, bahkan sampai radikalisme.
“Penetrasi pengguna internet tinggi, mencapai 78 persen. Artinya, dari total populasi Indonesia yang 270 jutaan penduduk, sudah sekitar 220 juta yang menggunakan internet,” kata Mira.
Sementara itu, derasnya arus informasi di era digital bisa berdampak pada kehidupan sosial bak pisau bermata dua yang ketika digunakan secara positif, digitalisasi bisa mendatangkan kebermanfaatan, sebaliknya jika menyebarkan berita hoax atau konten-konten negatif akan membahayakan.
Dengan literasi digital yang kuat, masyarakat bisa terhindar dari berbagai dampak buruk pesatnya perkembangan teknologi dan derasnya informasi yang belum tersaring di tengah masyarakat.
Indikator hoax
Terkait hoax, ada beberapa indikator yang bisa dijadikan acuan untuk memastikan sebuah konten itu palsu seperti penggunaan judul konten yang sifatnya provokatif, tanggal penerbitan informasi yang tidak sesuai dengan kejadiannya, konten yang terasa cukup tendensius atau mencurigakan, dan sejumlah indikator lainnya.
“Kita perlu membangun pemikiran kritis dengan melakukan kroscek di platform lainnya. Jika sebuah konten diunggah pada sebuah media besar atau beberapa media mengunggah hal yang sama, maka kemungkinan tingkat hoax-nya kecil. Tapi, kalau hanya muncul di satu media dan domain yang mencurigakan, ini yang perlu dipertanyakan,” kata Mira. “Kita butuh sabar sebelum sebar.”