Fanly Tanto tentang AI: Mengubah Ketakutan Menjadi Pemberdayaan

Jakarta, FORTUNE - Di tengah gelombang antusiasme global terhadap kecerdasan buatan (AI), banyak perusahaan di Indonesia justru masih berada di persimpangan jalan—antara penasaran dan ragu-ragu. Menjawab tantangan ini, Google Cloud Indonesia mencoba mengambil peran yang lebih dari sekadar penyedia teknologi dengan berupaya mengubah pola pikir industri dari 'ketakutan' menjadi 'pemberdayaan'.
Melalui program seperti "Indonesia BerdAIa", mereka tidak hanya menawarkan solusi, tetapi juga metodologi dalam mengubah keraguan dan membangun peta jalan adopsi AI lebih terukur. Fortune Indonesia berbicara dengan Fanly Tanto, Country Director Google Cloud Indonesia, yang membagikan pandangannya mengenai visi di balik pendekatan perusahaan dalam mengedukasi pasar hingga tantangan adopsi AI. Hasil wawancara ini telah disunting demi kejernihan dan kejelasan.
Apa latar belakang program "Indonesia BerdAIa"? Masalah mendasar apa yang ingin diselesaikan?
Kami melihat ada keengganan pada perusahaan untuk mengadopsi teknologi AI karena khawatir tidak tahu apakah teknologi ini sebenarnya perlu atau tidak perlu, dan apakah kasus penggunaannya (use case) cocok.
Mereka juga ragu mengenai hitungan laba atas investasinya (ROI). Jadi, kami jalankan program ini supaya bisa mengedukasi, membangun kepercayaan diri, dan juga menimbulkan tingkat kepercayaan lebih baik bagi para pemain pada berbagai industri.
Anda menyebut ada keraguan di pasar. Apa tantangan spesifik yang paling sering Anda temui saat memperkenalkan AI ke perusahaan di Indonesia?
Sebenarnya kalau saya lihat, tantangannya adalah banyak orang masih susah untuk membedakan antara consumer AI (seperti ChatGPT dan Gemini yang biasa kita pakai sebagai individu) dengan yang namanya enterprise AI. Akibatnya, banyak perusahaan, misalnya, melarang pegawainya menggunakan AI. Jadi, pemanfaatan teknologi AI seperti di-blocking.
Namun, larangan ini justru menimbulkan fenomena shadow AI. Maksudnya, mereka jadi secara diam-diam tetap menggunakan produk AI konsumer untuk pekerjaan kantor. Tapi, dengan begitu, nantinya jadi bisa ada risiko kebocoran data, karena alat tersebut sebenarnya diperuntukkan bagi individu, bukan perusahaan dengan standar keamanan spesifik.
Bagaimana kemudian Anda meyakinkan para pemimpin perusahaan?
Banyak yang berpikir AI itu mahal. Tugas kami adalah meyakinkan mereka bagaimana AI itu bisa membantu lewat lokakarya (workshop), daripada hanya melihat dari sisi biayanya.
Nomor satu, kami berbagi pengetahuan dulu. Apa saja use case yang cocok buat mereka. Kami sering sekali melakukan sesi berbagi pengetahuan, baik dalam format one-to-many maupun one-to-one ke para pelanggan. Dan biasanya spesifik per industri, biar alirannya sama. Jadi, misalnya, ke sisi FMCG, lalu ke sisi layanan finansial seperti perbankan, ke sisi telekomunikasi, atau ke media.
Biasanya kami undang satu per satu. Terkadang ada juga permintaan spesifik, misalnya, 'Oh, kami ada 50 orang yang mau join.' Itu pernah terjadi, 50 orang dari berbagai divisi dalam satu bank bergabung dalam sesi kami.
Setelah mereka bersedia ikut, bagaimana proses lokakarya itu berjalan untuk mengubah pola pikir mereka dari skeptis menjadi yakin?
Setelah mereka mendapatkan ide, kami membuatkan kerangka kerja (framework) untuk mereka. Mereka dibagi-bagi per grup. Grupnya bukan grup yang satu divisi, tetapi kami gabungkan multi-divisi jadi satu grup. Nanti mereka diskusi, lalu mereka menghasilkan beberapa ide dan mempresentasikan idenya.
Biasanya, ide itu kami pasang di post-it, lalu kami bantu memetakan mana yang nice to have dan mana yang must have . Lalu, dari sisi kompleksitas implementasi sama ketersediaan datanya, mereka bisa lihat, 'Oh ya sudah, ini jadi prioritas.'
Dalam sebuah lokakarya dengan salah satu bank, misalnya, lebih dari 100 use case berhasil dihasilkan, yang kemudian diprioritaskan menjadi belasan. Kemudian, kami lihat dan kami tulis: OK, ini kunci keberhasilannya (key success factor), indikator kinerja utamanya (KPI) seperti ini, dan definisi berhasilnya seperti ini.
Nah, setelah itu, kami biasanya memberikan bantuan berupa kredit (Google Cloud credits) atau pendampingan implementasi dengan memberikan saran (advice).
Anda sempat menyebut pendekatan ini spesifik per industri. Memangnya, bagaimana perbedaan kebutuhan dan use case AI pada tiap industri tersebut?
Tiap industri memang berbeda-beda. Misalnya di manufaktur. Mereka itu selain mementingkan sisi supply chain, juga memikirkan bagaimana proses produksi di hulu bisa lebih cepat atau bagaimana cara mengurangi fraud dari sumbernya.
Contoh lain, AVISI (Asosiasi Video Streaming Indonesia), yang merupakan kumpulan pemain OTT (over-the-top) video. Harapan utama mereka dari penggunaan AI adalah mengurangi fraud. Setelah itu, baru memikirkan bagaimana mereka meningkatkan pertumbuhan atau mempertahankan pelanggan. Jadi, kami melihat apa umpan balik dan harapan mereka dari penggunaan AI.
Ada contoh nyata tentang bagaimana metodologi ini membuahkan hasil di perusahaan lokal? Apa manfaat apa yang mereka rasakan?
Misalnya, Paragon Corp. Sebelumnya, pesanan (order) mereka datang dalam berbagai format—ada yang berupa gambar, entri manual, bahkan mungkin tulisan tangan. Semua itu diproses secara manual oleh staf. Dengan AI, semua format yang tidak terstruktur itu bisa diubah menjadi data terstruktur dan diproses secara otomatis. Ini membuat pemenuhan pesanan (order fulfillment) menjadi jauh lebih cepat. AI membantu mengubah berbagai model input menjadi satu format yang terstruktur.
Atau contoh lain, aplikasi MyTelkomsel, pada fitur pencarian (search). Jadi, misalnya, saya lagi di Arab Saudi, saya tulis saja di situ, 'Arab Saudi'. Nanti akan muncul rekomendasi paket umroh, misalnya. Pengguna tidak perlu ganti-ganti menu atau mencari ke beberapa tempat, sehingga waktu pencarian pun jadi berkurang. Hasilnya, untuk pencarian itu, rasio click-to-purchase menjadi lebih tinggi.
Seberapa yakin Anda bahwa pendekatan yang berfokus pada edukasi dan kolaborasi ini akan berdampak nyata bagi ekosistem AI Indonesia dalam jangka panjang?
Saya yakin, ya. Karena ini bukan program yang dijalankan sepihak oleh Google Cloud. Kami membangunnya bersama-sama dengan pelaku industri. Ini adalah hasil dari kami mendengarkan umpan balik dari mereka. Tujuannya juga untuk mengembangkan talenta agar tidak takut dengan AI dan tidak berpikir pekerjaan mereka akan hilang.
Kami ingin menunjukkan bahwa pekerjaan yang sebelumnya manual bisa dibantu oleh AI, sementara sumber daya manusia yang ada kemampuannya ditingkatkan (augmented) oleh AI.
Tujuan kami dibuat agar dapat tercapai (achievable). Contohnya, untuk target talenta digital, program JuaraGCP sampai tahun ini sudah menghasilkan 672.000 labs diselesaikan. Nah, kami punya target 800.000. Jadi, target yang kami buat realistis dan tidak mengawang-awang. Lalu, untuk akselerator startup, kami menargetkan 100 startup dalam lima tahun, yang semuanya kami kurasi dengan baik.