Buntut Niat Pembatalan Akuisisi, Twitter Resmi Gugat Elon Musk

Jakarta, FORTUNE – Twitter, Inc. resmi melayangkan gugatan ke Elon Musk atas rencana akuisisi. Perusahaan jejaring sosial itu mendesak Musk untuk melanjutkan transaksi pengambilalihan yang mencapai US$44 miliar atau setara dengan Rp659 triliun.
Gugatan tersebut diajukan ke pengadilan Delaware Court of Chancery, Selasa (13/7). Dalam pengaduannya, manajemen Twitter menyebut perusahaan berusaha untuk mencegah Musk dari pelanggaran lebih lanjut soal perjanjian akuisisi.
"Pada April, Elon Musk menandatangani perjanjian merger yang mengikat dengan Twitter, berjanji untuk menggunakan upaya terbaiknya untuk menyelesaikan kesepakatan. Sekarang, kurang dari tiga bulan, Musk menolak untuk menghormati kewajibannya kepada Twitter dan pemegang sahamnya karena kesepakatan yang dia tanda tangani tidak lagi melayani kepentingan pribadinya,” begitu bunyi gugatan Twitter, seperti dikutip dari CNN Business.
Elon Musk pekan lalu mengumumkan niat untuk mengakhiri perjanjian akuisisi. Pihak Musk menuding Twitter “melanggar beberapa ketentuan dari kesepakatan”. Perwakilan CEO Tesla itu turut mengeklaim Twitter telah menahan data yang diminta untuk mengevaluasi jumlah bot dan akun spam di platform.
Dalam sebuah surat pada Senin (11/7), manajemen Twitter merespons tuduhan tersebut. Perusahaan yang berbasis di San Fransisco ini menyebut ikhtiar pembatalan transaksi “tidak valid dan salah”.
Merespons gugatan dari Twitter, Musk sempat menuliskan cuitan, “Oh ironi”. Namun, orang terkaya di dunia ini tidak segera menanggapi permintaan komentar dari CNN.
Kabar Elon Musk akan mundur dari akuisisi telah ramai mulai pekan lalu. Menurut sumber anonim dalam laporan The Washington Post, pihak Elon Musk dikabarkan telah menyetop diskusi seputar pendanaan untuk akuisisi. Kesepakatan ini terancam gagal karena kekhawatiran pihak Musk atas Twitter yang tidak dapat melakukan verifikasi atas akun spam dan bot di platform.
Padahal, manajemen Twitter mengeklaim telah menghapus 1 juta akun spam setiap harinya. Layanan jejaring sosial ini turut menegaskan pengguna palsunya hanya mencapai 5 persen dari jumlah keseluruhan.
Dalih kurang pantas

Drama pertempuran antara Twitter dan Musk agaknya telah dimulai. Proses pengadilan yang panjang dinilai akan menentukan apakah Twitter dapat memaksa Musk untuk menutup kesepakatan dan menjadi pemiliknya. Atau, Twitter setidaknya bisa membuat Musk membayar US$1 miliar atau Rp14,9 trilun yang ditetapkan sebagai biaya perpisahan dalam perjanjian awal.
Semula, Musk menyampaikan niatannya dalam membeli Twitter adalah untuk membasmi akun bot di platform. Namun, pria itu belakangan mengeklaim ada lebih banyak bot di platform ketimbang yang dilaporkan oleh manajemen Twitter.
Twitter menyebut alasan yang dikutip oleh Musk sebagai "dalih" yang kurang pantas. Perusahaan ini juga mengatakan keputusannya untuk pergi lebih berkaitan dengan penurunan pasar saham, terutama untuk saham teknologi.
Senada, sejumlah analis berpendapat Musk menggunakan alasan bot ini sebagai dalih untuk keluar dari kesepakatan. Pasalnya, perjanjian akuisisi tampak terlalu mahal menyusul penurunan saham.
Sebagai konteks, berdasarkan ketentuan kesepakatan, Musk akan mengambil alih saham Twitter dengan harga US$54,20 per saham yang beredar. Mengutip Google Finance, saat artikel ini ditulis, Rabu (13/7), saham perusahaan media sosial itu hanya US$34,60. Dengan kata lain, Musk menebus pengambilalihan Twitter dengan harga saham yang lebih mahal 56,65 persen.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Twitter, Parag Agrawal, dalam sebuah pemberitahuan kepada karyawan staf, berusaha meyakinkan para pegawai tentang masa depan Twitter. "Kami akan membuktikan posisi kami di pengadilan dan kami yakin kami akan menang," tulisnya dalam catatan yang dilihat Reuters.
Menurut Pakar Hukum dari Boston College Law, Brian Quinn, Twitter telah mengambil posisi kuat bahwa Musk memiliki kasus penyesalan pembelian. Menurutnya, perkara bot merupakan alasan untuk mundur dari kesepakatan.
"Fakta-fakta yang disajikan Twitter di sini membuat argumen yang sangat kuat mendukung Twitter untuk menutup kesepakatan ini." Pakar hukum mengatakan bahwa informasi yang tersedia secara publik, Twitter tampaknya akan unggul.