Insentif Pemerintah Untuk Dorong PLTS Dinilai Masih Kurang Efektif
Masih ada risiko investasi yang harus diredam.
Jakarta, FORTUNE – Pemerintah terus mendorong pembangunan fasilitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Namun, berbagai insentif yang dikeluarkan pemerintah untuk mengimplementasikan program tersebut dinilai masih kurang efektif.
“Sebaiknya insentif diberikan untuk pengembang dalam bentuk concessional finance dan tax incentives. Untuk konsumen, dalam bentuk pendanaan bunga rendah. Bisa juga bisa diberikan dalam bentuk penurunan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) untuk bangunan yang menggunakan PLTS atau energi baru terbarukan (EBT),” ujar Pengamat energi sekaligus Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, kepada Fortune Indonesia, Rabu (20/4).
Kementerian Investasi, akan memberikan kemudahan bagi para investor yang melakukan penanaman modal di sektor EBT. Dari sisi insentif, pemerintah memberikan tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk bahan baku dan barang modal kelistrikan, serta insentif untuk kegiatan penelitan maupun pengembangan.
Pemberian insentif hingga konsistensi kebijakan
Fabby menambahkan, untuk mencapai target 23 persen bauran EBT pada tahun 2025, Indonesia setidaknya masih memerlukan tambahan kapasitas hingga 4 Gigawatt (GW). Bila seluruhnya berasal dari PLTS, maka kebutuhan investasinya diperkirakan mencapai US$4 miliar atau Rp57,4 triliun dan investasi tambahan lainnya.
Rabby berpendapat, insentif hanyalah jadi salah satu cara menarik investasi. Selain itu, diperlukan konsistensi kebijakan hingga persiapan ekosistem pendukung,
“Jadi, yang perlu diperhatikan pemerintah adalah kepastian dan konsistensi regulasi; dan pengembangan ekosistem pendukung untuk PLTS, seperti pengembangan pasar, kesadaran masyarakat, dukungan finansial, dukungan industri domestik, serta dukungan PLN sebagai utility,” ujar Fabby.
Regulasi terkait PLTS sangat terbuka bagi UKM dan Koperasi
Kementerian Investasi sudah memastikan bahwa regulasi terkait pembangunan PLTS saat ini sangat terbuka bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) dan koperasi untuk menyediakan tenaga listrik bagi pembangkit di bawah 1 Megawatt (MW). Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk terus mendukung masuknya penyediaan energi surya dalam orde GW.
Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi, Nurul Ikhwan, mengungkapkan, regulasi ini mengecualikan pembangkit listrik EBT yang dibangun oleh PT PLN (Persero) dan untuk pemerataan akses energi, maka diberlakukan hanya pada wilayah luar Jawa-Bali.
“(Ini) untuk pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik atas instalasi penyediaan tenaga listrik tegangan rendah dan menengah di bawa 36 Kilovolt,” ujarnya dikutip dari Antara, Selasa (19/4).
Kesempatan membangun peluang investasi
Menurut Nurul, PLTS akan punya andil hingga 12 persen dalam memenuhi kebutuhan bauran energi sampai tahun 2030. Oleh sebab itu, kebutuhan ini pun menjadi kesempatan untuk membangun peluang investasi dalam negeri, seperti proyek PLTS terapung di Waduk Cirata, Jabar, yang terbesar di Asia Tenggara, dengan kapasitas 145 MW dan nilai investasi hingga US$145 juta.
Selain itu, ada juga rencana investasi ekspor listrik dari Batam ke Singapura yang didukung oleh Pemerintah kedua negara. “Ekspor ini akan memberikan kesempatan pada Indonesia untuk lebih meningkatkan produk listrik berbasis surya,” katanya.
Kementerian Investasi sudah memfasilitasi investasi berbasis energi dengan capaian nilai Rp558,7 triliun dari potensi realisasi sebesar Rp708 triliun. Terdapat 9 proyek dengan nilai mencapai Rp132,8 triliun atau 23,77 persen dari total nilai potensi investasi yang telah difasilitasi pada kurang lebih 31 proyek.