Ada Kendala, Realisasi Ekspor CPO Baru 50 Persen dari Kuota
Pemerintah mendorong percepatan ekspor CPO dilakukan.

Jakarta, FORTUNE - Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan, mengatakan realisasi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) saat ini baru 1,2 juta ton dari total kuota ekspor 3,4 juta ton.
“Ada beberapa kendala terkait realisasi ekspor ini sehingga masih baru terealisasi kurang lebih 50 persen. Kenapa masih lambat? Karena ada alasan-alasan eksternal,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (28/6).
Oke menyatakan saat ini sudah ada 505 persetujuan ekspor (PE) yang diterbitkan dari total 958 PE yang akan diberikan. Menurut dia, ada dua skema ekspor CPO. Pertama, skema domestic market obligation (DMO) lewat SIMIRAH yang DMO-nya sudah tersalurkan 450.000 ton ke distributor minyak goreng.
Sementara itu, dalam skema flush out (FO), total 1,16 juta ton kuota ekspor baru terealisasi 40 persen. Artinya, ada program transisi SIMIRAH 1 yang total kuota ekspornya 2,2 juta (skema DMO) dan flush out 1 juta.
Izin ekspor CPO secara total 3,4 juta untuk Juni tahun ini. Izin yang sudah terbit 1,8 juta ton, tapi realisasinya 1,2 juta ton.
“Mereka punya waktu cukup panjang 6 bulan (untuk ekspor). Sementara itu, dari 1,16 juta ton skema FO, mereka harus menyelesaikan ekspornya 31 Juli (2022),” kata Oke.
Perbaikan kebijakan
Oke Nurwan mengatakan kebijakan DMO dan DPO telah diperbaiki sesuai dengan isi dari Keputusan Menteri Perdagangan (Kepmendag) Nomor 997 Tahun 2022 tentang Penetapan DMO dan DPO dalam rangka Program MGCR.
"DMO menjadi kewajiban bagi eksportir untuk menyediakan minyak goreng dengan harga terjangkau di masyarakat, khususnya bagi usaha kecil dan mikro. Jika pemenuhan DMO sudah terpenuhi, maka eksportir langsung dapat hak ekspor lima kali lipat dari DMO yang sudah mereka penuhi," ujar Oke.
Dia menambahkan juga bahwa jika eksportir tidak menjalankan kewajiban DMO yang ditetapkan, maka hak ekspornya juga akan dikurangi.
Harga TBS anjlok

Di sisi lain, sempat dijelaskan juga ihwal harga Tandan Buah Segar (TBS) petani sawit yang dianggap terlalu rendah. Padahal Presiden Joko Widodo menetapkan harga TBS yang harus dibeli dari petani Rp1.600 per kilogram.
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mendata harga TBS per 23 Juni 2022 senilai Rp1.150 per kilogram di kebun swadaya dan Rp2.010 per kilogram di kebun plasma. Bahkan, ada daerah dengan harga TBS hanya Rp600 per kilogram.
Apkasindo menilai harga TBS di dalam negeri lebih rendah hingga 70 persen dari harga minyak sawit mentah (CPO) dunia. Faktor yang membuat harga TBS domestik rendah adalah biaya fiskal eksportasi CPO, yakni bea keluar (BK), pungutan ekspor (PE), kewajiban pasar domestik (DMO), dan FO.
Meski begitu, pemerintah memprediksi pelaksanaan ekspor CPO dan produk turunannya bisa kembali normal dalam 2 minggu ke depan. Sehingga, harga TBS di petani bisa merangkak naik.
"Pemerintah sebenarnya yakin ini akan kembali normal dalam waktu 1-2 minggu ke depan, sampai pertengahan Juli. Jadi ini akan membantu harga TBS. Jadi DMO dan DPO menurut kami bukan permasalahan utama yang menyebabkan lambatnya ekspor," ucap Staf Khusus Bidang Hubungan Internasional dan Perjanjian Internasional Kemenko Marves, Firman Hidayat, pada kesempatan sama.