BUSINESS

Kenali Skema Take or Pay yang Bebani PLN Bertahun-tahun

Skema take or pay mewajibkan PLN untuk menyerap listrik.

Kenali Skema Take or Pay yang Bebani PLN Bertahun-tahunIlustrasi: lokasi gardu listrik milik PLN. (Dok. Istimewa)
09 February 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – PT PLN (Persero) menyatakan keberhasilannya dalam menghemat beban take or pay senilai Rp40 triliun dari renegoisasi pembangkit listrik dengan sejumlah independent power producer (IPP). Hal ini dilakukan untuk mengurangi tanggungan kelebihan listrik.

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, mengatakan PLN terus berupaya untuk mengurangi suplai listrik dari proyek pembangkit listrik 35 gigawatt (GW) dengan mengundurkan jangka waktu hingga membatalkan kontrak pembangunan pembangkit listrik.

“Kami sebut sebagai renegosiasi, sehingga kami berhasil mengurangi beban take or pay sekitar Rp40 triliun,” ujar Darmawan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Rabu (8/2).

Dengan skema take or pay, PLN diwajibkan untuk menyerap listrik yang diproduksi pembangkit swasta sesuai dengan kontrak. Jika tidak, PLN bisa mendapat penalti. Skema ini telah membebani perseroan tersebut selama bertahun-tahun

Sejauh ini PLN masih terus menanggung kelebihan pasokan listrik yang dihasilkan dari sejumlah pembangkit batu bara, gas, dan sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini lantaran rendahnya tambahan permintaan listrik.

Di Jawa, misalnya. Daya listrik dalam satu tahun ke depan akan bertambah 6.800 megawatt (MW), namun permintaan hanya naik 800 MW. Di Sumatera, penambahan permintaan listrik hingga 2025 diperkirakan hanya 1,5 GW dengan penambahan daya listrik 5 GW. Sama halnya di Kalimantan dan Sulawesi bagian selatan. Lantas sebenarnya seperti apa skema take or pay yang jadi beban PLN itu?

Pengertian skema take or pay

Sesuai namanya, take or pay berarti “ambil atau bayar”. Artinya PLN harus menyerap listrik yang diproduksi IPP sesuai dengan kontrak perjanjian jual beli listrik (PJBL) berdasarkan atau faktor ketersediaan (AF) atau faktor kapasitas (CF) sesuai dengan harga jual. Jika tidak, PLN harus membayar denda.

Tetapi, perjanjian jual beli tersebut tak hanya berlaku untuk take or pay, melainkan juga delivery or pay dari sisi IPP. Artinya, jika IPP tidak mengirimkan listrik sesuai AF/CF maka mereka harus membayar pinalti atau denda kepada PLN.

Inilah yang membebani keuangan PLN. Sebab, pasokan listrik tersebut tidak terserap konsumsi. Berdasarkan data Kementerian ESDM, kondisi oversupply listrik ini telah berlangsung sejak 2011.

Sejarah skema take or pay

PLN mengambil skema take or pay akibat krisis ekonomi 1998, yang juga menyebabkan krisis pada produksi listrik karena pembangunan pembangkit listrik baru menjadi sulit. Kesulitan itu lahir karena PLN tidak memiliki cukup dana menyusul kontrak dalam dolar AS, yang nilainya terhadap rupiah kala itu melonjak drastis. 

Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan ada investor yang tertarik untuk membangun pembangkit listrik secara mandiri.

Skema take or pay juga diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 yang direvisi menjadi Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2018 yang mengatur Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Jadi, ketentuan ini pun menjamin bahwa negara akan membeli listrik yang diproduksi oleh swasta.

Aturan tersebut menjelaskan bahwa bila PLN tidak dapat menyerap energi listrik sesuai kontrak karena kesalahannya, maka perseroan itu harus membayar penalti kepada penjual (take or pay), yang nominalnya sesuai dengan komponen investasi.



 

Related Topics