BUSINESS

Para Investor yang Kaya dari Transisi Energi Tak Mulus di Eropa

Kenaikan harga gas dan tarif listrik berjalan beriringan.

Para Investor yang Kaya dari Transisi Energi Tak Mulus di EropaIlustrasi tangki gas. Shutterstock/OlegRi
06 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Sejumlah pengusaha mendulang untung di tengah krisis energi yang mendera Eropa. Mereka adalah produsen gas dan pengelola pembangkit puncak (peaker) yang mengirimkan energi ke sistem kelistrikan di tengah lonjakan permintaan. 

Pembangkit puncak, yang menyangga kenaikan beban listrik di Eropa itu, memang cukup fleksibel dan dapat dinyalakan dengan sekali tekan. Mereka memanfaatkan bahan bakar gas pada pembangkit skala kecil dan menghasilkan listrik dengan harga tinggi. 

Kini, pembangkit yang biasanya hanya dinyalakan sesekali itu bisa dihidupkan setiap hari dan hampir 24 jam—membuat para pemiliknya seperti ketiban durian runtuh.

“Jika Anda menggambarkan skenario yang kita hadapi sekarang, seseorang akan menyebutnya sebagai peristiwa 10 tahun. Sekarang kenyataannya adalah itu terjadi tiga kali dalam sebulan terakhir,” kata Matt Clare, pendiri Arlington Energy, pengembang dan manajer aset transisi energi termasuk peaker, seperti dikutip Fortune.com.

Sebagai catatan, lonjakan permintaan listrik setelah berakhirnya karantina wilayah sulit dipenuhi oleh sistem pembangkit Eropa yang kian bergantung pada energi terbarukan. PLTS, contohnya, hanya bisa optimal saat siang hari. Sementara PLTB bergantung pada energi angin yang kadang enggan bertiup.

Krisis listrik di Benua Biru itu pun berimbas pada kenaikan harga gas alam serta tarif listrik hampir tiap hari. Kemarin (5/10),  kontrak gas alam di pasar Belanda kembali meroket mencapai €107 per megawatt hour (MWh)—level tertinggi yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Strategi Perusahaan

Clare menjelaskan bahwa ia dan rekannya memulai perusahaan untuk berinvestasi dalam peaker gas setelah menemukan pola yang menunjukkan wilayah mana saja yang mulai menonaktifkan pembangkit batu bara, dalam proses pembangunan pembangkit nuklir, serta wilayah dengan resistensi masyarakat terhadap pembangkit gas.

"Gas peaker bukanlah kata kunci yang seksi seperti baterai, tetapi cukup wajib dalam transisi [energi],” ujar Clare.

Terlebih gas peaker juga menguntungkan. Pada awal September, ketika sedikit angin datang dari Laut Utara, Inggris membayar £4.950 per MWh (US$ 6.850) hanya untuk menyalakan pembangkit peaker berbahan bakar gas dalam waktu singkat selama 30 menit.

"Harga gas yang tinggi menaikkan harga grosir, jadi selama itu berlanjut—yang akan membuat separuh negara kehabisan—maka margin itu akan tetap ada," lanjut Clare.

Namun, Anthony Catachanas, CEO Victory Hill Capital Group, manajer aset lain yang memiliki portofolio pabrik gas, punya pandangan berbeda. Menurutnya persiapan untuk kebutuhan peaker adalah soal antisipasi.

Perusahaannya mengambil langkah lebih jauh yaitu menangkap CO2 yang dipancarkan dari pabrik gas untuk dijual kembali ke industri daging dan pengemasan, yang juga menghadapi kekurangan offset karbon saat ini karena pasokan yang berasal dari sumber biasa mereka yakni pabrik pupuk telah ditutup karena harga gas yang tinggi.

Catachanas mengatakan keuntungan dari model bisnis adalah bahwa utilitas memberinya margin tetap antara pendapatan dari listrik dan biaya gas. "Mereka menetapkan biaya gas untuk saya dengan harga dasar selama lima-tahun hingga 15 tahun. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya," ujarnya.

Victory Hill Capital Group menawarkan pengembalian ekuitas sebesar 24,2 persen atas investasinya, sementara pihak yang benar-benar bermain di sektor renewable-fund hanya berani menawarkan pengembalian di kisaran satu digit.

Di sisi lain, dengan harga gas yang meroket lebih dari tiga kali lipat tahun ini, dapat dipastikan tiap bisnis yang ada dalam sektor ini menangguk laba. Terlebih, permintaan listrik dari sumber energi yang fleksibel meningkat.

Analis Bank of America mengatakan produsen gas Equinor dan Gazprom siap untuk mendapatkan keuntungan dari pasar gas hingga 2025 dan menempatkan rekomendasi "beli" pada saham dua perusahaan tersebut.

Kapan Lonjakan Harga Terhenti?

Harga gas alam dan harga listrik selalu bergerak beriringan. Karena itu, selama harga gas naik dalam menghadapi lonjakan permintaan global, harga listrik juga diprediksi akan tetap tinggi. Bahkan, analis Bank of America menyebutkan utilitasnya dalam mempengaruhi harga listrik diperkirakan akan terus berada di atas 70 persen pada 2021 dan 2022.

Sementara menurut Catachanas, meskipun akan ada pemisahan antara harga listrik dan gas, hal tersebut takkan terjadi hingga 20 tahun mendatang. "Sampai kita menciptakan dan memiliki keseimbangan pada grid, harga gas akan memainkan peran transisi yang sangat penting dan akan mendorong harga energi," terangnya.

Hal serupa disampaikan oleh Clare. Ia menilai tak akan ada banyak perubahan dalam satu dekade jika pembangkit listrik baru yang lebih baik daripada gas peaker dalam menangani fleksibilitas belum ditemukan. "Saya tidak melihat apa pun yang benar-benar menyelesaikan korelasi ini untuk waktu yang lama, kecuali beberapa aset yang benar-benar berbeda memasuki pasar," ungkapnya

Kendati demikian, pemerintah di sejumlah negara di Eropa mulai turun tangan untuk mengatasi kenaikan tarif listrik akibat lonjakan harga tersebut. Prancis, misalnya, berencana mengurangi kenaikan tarif listrik pada Februari 2022. Dua pekan lalu, pemerintah Prancis mengatakan akan melakukan pembayaran satu kali sebesar €100 (US$115,79) kepada 5,8 juta rumah tangga yang menerima voucher energi untuk membantu meringankan biaya tagihan listrik mereka.

Sedangkan Spanyol mengumumkan pemotongan pajak yang diterapkan pada tagihan listrik konsumen serta mengincar windfall profit tax dari perusahaan yang mendapat untung dari lonjakan harga gas.

Prancis dan Spanyol juga telah bergabung untuk menuntut perubahan pada aturan pasar energi di Uni Eropa. Sebelum pertemuan para menteri keuangan zona Euro, Bruno Le Maire, menteri ekonomi Prancis, mengatakan kepada wartawan, “sudah waktunya untuk melihat pasar energi Eropa. Ini memiliki satu kelemahan utama, yaitu penyelarasan harga listrik dengan harga gas.”

Related Topics