BUSINESS

Survei: Mayoritas Pemimpin Bisnis Khawatir Ekonomi Dunia Akan Resesi

Tak sedikit pebisnis yang menganggap resesi sedang terjadi.

Survei: Mayoritas Pemimpin Bisnis Khawatir Ekonomi Dunia Akan ResesiIlustrasi pemimpin perusahaan. Shutterstock/JOKE_PHATRAPONG
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Survei terbaru dari The Conference Board, organisasi kelompok riset dan keanggotaan bisnis, menunjukkan mayoritas pemimpin bisnis global khawatir terhadap potensi resesi atau pertumbuhan ekonomi negatif. 

Dalam survei yang dikutip oleh Fortune.com, Jumat (20/6), sebagian besar eksekutif bisnis meyakini pertumbuhan ekonomi negatif tak terhindarkan selama 1,5 tahun ke depan. Bahkan, kelesuan ekonomi itu dianggap sudah terjadi saat ini.

Lebih dari tiga per empat CEO global memperkirakan resesi akan terjadi di wilayah bisnis yang mereka geluti tahun depan. Sedangkan, hanya 60 persen CFO yang memperkirakan hal sama.

Laporan bertajuk C-Suite View of Volatilty, War, Risks, and Growth for Global Business ini berdasar atas survei terhadap 750 pemimpin bisnis dunia, termasuk 447 CEO. Jajak pendapat digelar untuk mengetahui pandangan pebisnis mengenai perkembangan ekonomi global, dengan fokus pada krisis geopolitik Eropa Timur.

Penelitian yang dilansir pada Mei tersebut berlangsung sebelum bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga acuan 0,75 persen demi mengendalikan inflasi, Kamis (16/6). Namun, pada saat itu, sekitar 15 persen CEO sudah meyakini bahwa wilayah mereka tengah berada dalam tren koreksi.

Temuan dalam survei kali ini dianggap mengejutkan. Pasalnya, pada akhir tahun lalu, hanya 22 persen responden memprediksi terjadinya penurunan kinerja ekonomi.

Sejumlah kekhawatiran

Deretan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (25/4/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.Deretan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (25/4/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Kekhawatiran terhadap resesi terutama berasal dari perang Rusia-Ukraina. Menurut eksekutif bisnis, krisis geopolitik itu telah mengguncang harga energi dan kenaikan biaya produksi. Lebih dari setengah CEO menganggap konflik bersenjata itu sebagai masalah yang paling berpengaruh pada operasional bisnisnya tahun depan.

“CEO dan eksekutif C-suite lainnya melihat perang memicu inflasi melalui volatilitas harga energi dan biaya yang lebih tinggi untuk input yang langka,” demikian survei tersebut, dikutip Senin (20/6). "Ini mengarah pada kekhawatiran tentang penurunan margin."

Dalam survei sama, para pemimpin bisnis memberikan tanggapan soal upaya bisnis mereka di tengah sejumlah masalah. 51 persen CEO membebankan biaya lebih tinggi kepada konsumen, dan 36 persen CEO menyebut akan menyerap kenaikan biaya dengan mengurangi margin keuntungan.

Itu belum termasuk langkah mayoritas CEO yang fokusnya adalah perbaikan dan penguatan rantai pasokan.

CEO JP Morgan Chase, Jamie Dimon, misalnya, memperingatkan investor untuk bersiap menghadapi "badai" ekonomi menyusul perang Ukraina dan kenaikan suku bunga. CEO Tesla sekaligus orang terkaya dunia, Elon Musk, mengatakan saat ini mungkin sudah terjadi resesi. Sebelumnya, Musk bahkan mengatakan pada para eksekutif Tesla mengenai "perasaan (-nya) yang sangat buruk" akan perekonomian terkini.

Menurut laporan Bank Dunia Juni 2022, perekonomian global tahun ini ditaksir hanya tumbuh 2,9 persen, atau melambat dari 5,7 persen tahun sebelumnya. “Perang di Ukraina, karantina wilayah di Cina, gangguan rantai pasok, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari,” kata Presiden Bank Dunia, David Malpass, Rabu (8/6).

Meski demikian, perekonomian Indonesia diprediksi masih akan tumbuh 5,1 persen tahun ini, atau meningkat dari 3,7 persen pada 2021. Indonesia pun dianggap akan mampu lepas dari dampak resesi global karena kinerja ekspor komoditasnya yang cemerlang.