Menilik Strategi Sneakers Lokal Mengusik Dominasi Nike dan Adidas

Jakarta, FORTUNE - Pasar sneakers di Indonesia menunjukkan tren yang terus meningkat. Statista memproyeksikan nilai pasar mencapai US$588,62 juta pada 2025, dengan pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sekitar 5,82 persen hingga 2030. Lonjakan ini tidak hanya didorong oleh popularitas merek-merek global, tetapi juga oleh dinamika persaingan yang semakin beragam.
Di tengah dominasi pemain besar seperti Nike, Adidas, dan Skechers, sejumlah merek lokal, mulai dari Aerostreet, Eagle, Piero, hingga League, berhasil menemukan ruang untuk berkembang. Alih-alih menghadapi raksasa tersebut secara frontal, mereka menerapkan flanking strategy. Menurut Yuswohady, Managing Partner Inventure, strategi ini merupakan “seni memenangkan pasar tanpa harus berperang di jalan raya yang dikuasai pemain besar.”
Yuswohady menegaskan bahwa merek global memiliki sumber daya hampir tak terbatas, mulai dari modal, teknologi, hingga kekuatan brand. “Kalau pemain lokal memaksa head-to-head, itu perang yang pasti kalah,” ujarnya, kepada Fortune Indonesia, dikutip Rabu (3/12). Oleh karena itu, flanking menjadi jalan yang lebih cerdas, menciptakan medan tempur baru yang hanya mereka kuasai.
Dalam struktur pasar olahraga, segmen premium telah lama menjadi arena para raksasa global. Sneakers lokal memilih menjauh dari jalur itu. “Flanking adalah cara untuk tidak menghabiskan tenaga di tempat yang salah,” ujarnya. Dengan tidak bertarung di kategori yang sama, brand lokal bisa menghindari perang modal yang melelahkan dan tidak sebanding.
Di lain sisi, raksasa global kerap fokus pada pasar premium dan tren internasional, sehingga mereka meninggalkan “area kecil” yang terlihat kurang menguntungkan. Bagi brand lokal, ruang itu justru menjadi peluang emas. “Di ruang yang diabaikan itulah pemain lokal bisa tumbuh cepat tanpa tekanan keras dari global brand,” ujar Yuswohady.
3 Keunggulan flanking strategy yang menguatkan merek lokal

1. Price Flanking
Merek global bermain di kisaran harga Rp1,5 juta–Rp3 juta. Sementara itu, brand lokal masuk ke zona Rp100 ribu–Rp400 ribu, segmen luas yang tidak tersentuh pemain global. Aerostreet bahkan menjual di Rp89–150 ribu, sedangkan Ventela menyasar Rp200–350 ribu.
“Brand lokal sengaja tidak mau jadi Nike versi murah. Mereka memilih medan tempur sendiri,” jelas Yuswohady. Segmen ini bukan hanya besar, tetapi juga relevan dengan daya beli mayoritas konsumen Indonesia.
2. Channel Flanking
Brand global umumnya berfokus pada mal premium, jaringan toko olahraga besar, dan kota-kota metropolitan. Sebaliknya, merek lokal bergerak di jalur grassroots, wilayah yang kerap tidak dianggap seksi oleh pemain internasional.
Merek lokal menyasar toko sepatu di pasar, distro daerah, toko sekolah, TikTok Shop dan live commerce, hingga reseller dan penjual rumahan di kota tier 2 dan tier 3. “Di sinilah brand lokal menciptakan ‘wilayah kekuasaan’ sendiri,” kata Yuswohady.
Presiden Direktur PT GF Indonesia, You Jong Min, mengatakan distribusi Eagle kini diperluas secara agresif. Sepatu Eagle sudah hadir di seluruh pulau di Indonesia, termasuk Papua, melalui kemitraan dengan ritel lokal. “Kami ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Makassar, dan tentu saja Jawa. Di Papua pun kami masuk. Bisa dibilang, hampir seluruh wilayah Indonesia terjangkau," kata You (17/4).
Meski persaingan semakin padat, Eagle tidak memandang merek lokal lain sebagai kompetitor utama. “Yang perlu ditekankan bukan persaingan antarpemain lokal, tapi edukasi kepada masyarakat agar tidak membeli sepatu palsu (KW),” ujar You. “Kita harus meyakinkan pasar bahwa merek lokal juga hebat.”
You menambahkan, perluasan distribusi dilakukan karena perusahaan yakin teknologinya tidak kalah dari merek global. Selain mengembangkan teknologi sendiri, Eagle juga menjalin kerja sama dengan AutoLite, penyedia sol ringan yang digunakan banyak merek internasional seperti Nike dan Adidas. Kolaborasi tersebut menjadi penanda ambisi Eagle untuk menyetarakan kualitas tanpa kehilangan identitas.
3. Cultural & Heritage Flanking
Jika pemain global bicara teknologi, performa, dan atlet dunia, brand lokal mengambil pendekatan kebudayaan. Mereka menggandeng musisi indie, komikus, dan komunitas kreatif. Ventela tumbuh dari subkultur Bandung. Ortuseight membangun akar kuat di komunitas futsal.
Ada pula heritage flanking, sebuah aset emosional yang tidak bisa dibeli global brand. Eagle dan League, misalnya, memainkan nostalgia masa kecil, desain retro Indonesia, dan memori kebangsaan. “Emotional connection seperti ini tak bisa ditiru oleh merek internasional,” kata Yuswohady.
Meski dikepung raksasa global di pasar sendiri, brand sneakers lokal telah membuktikan bahwa mereka bisa bertahan, bahkan tumbuh dengan menciptakan arena pertandingan baru. “Pada akhirnya, flanking strategy adalah cara brand lokal untuk menang tanpa harus bertarung di jalur yang sama,” kata Yuswohady. Dan justru dari pinggir medan tempur itulah, kekuatan baru industri sneakers Indonesia sedang dibangun.
















