Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Ilustrasi mobil listrik.
Ilustrasi mobil listrik. (Pixabay)

Intinya sih...

  • Perang harga mobil listrik di Cina mencapai titik mengkhawatirkan

  • BYD memimpin pasar dengan taktik agresif dalam memotong harga dan menekan pemasok

  • Pemerintah Cina berupaya meredam perang harga, tapi dinilai terlambat

Jakarta, FORTUNE - Perang harga pada industri kendaraan listrik (EV) Cina telah memicu intervensi pemerintah dan anjloknya saham para pemain utama. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa gejolak saat ini hanyalah awal dari perombakan besar-besaran pada sektor otomotif negara tersebut.

Warta Fortune, Senin (9/6), melaporkan pemerintah Cina menunjukkan sinyal kehilangan kesabaran terhadap perang diskon yang dipimpin oleh raksasa pasar, BYD. Meskipun BYD kini menjadi merek terlaris, strategi harganya yang agresif dinilai menciptakan lingkaran setan yang merusak industri. Bahkan, pertemuan para bos otomotif yang dipanggil ke Beijing pekan lalu belum mampu meredakan kekacauan harga.

Seorang analis senior memperingatkan dampak luas dari situasi ini.

"Apa yang Anda lihat di Tiongkok sangat mengkhawatirkan, sebab kurangnya permintaan dan pemotongan harga yang ekstrem," ujar John Murphy, analis otomotif senior di Bank of America Corp. Ia memperkirakan akan ada konsolidasi besar-besaran untuk menyerap kelebihan kapasitas industri.

Akar masalahnya terletak pada kelebihan kapasitas produksi. Riset dari Gasgoo Automotive Research Institute menunjukkan, tingkat utilisasi produksi pada industri otomotif Cina hanya mencapai 49,5 persen pada 2024. Artinya, hampir separuh dari total kapasitas produksi di negara itu tidak terpakai.

Meskipun sejumlah merek telah hengkang—laporan AlixPartners menyatakan 16 merek kendaraan energi baru (NEV) keluar dari pasar pada 2024—banyak pemain yang masih bertahan, sebagian besar didorong oleh harapan ekspansi ekspor.

Namun, peluang di pasar global pun semakin sempit.

"Pasar [Amerika Serikat] tertutup, dan Jepang serta Korea kemungkinan akan segera menyusul," kata Jochen Siebert, Direktur Pelaksana JSC Automotive. Ia menyatakan pasar Rusia yang sempat menjadi primadona tahun lalu kini sulit ditembus, sementara pasar Asia Tenggara dinilai tidak lagi menjanjikan.

BYD menjadi pusat dari dinamika ini. Sejak sahamnya mencapai puncak pada akhir Mei, nilai pasar BYD telah anjlok hingga US$21,5 miliar. Langkah agresifnya, mulai dari pemotongan harga hingga menekan pemasok untuk menurunkan biaya komponen, dipandang sebagai strategi mendominasi pasar.

"Jelas bagi semua orang bahwa pemain terbesar melakukan hal ini. Mereka menginginkan monopoli yang membuat semua orang menyerah,” kata Siebert.

Kekhawatiran ini bahkan disuarakan oleh media yang dikendalikan pemerintah. People's Daily, kanal berita milik Partai Komunis, memperingatkan bahwa produk berkualitas rendah akibat tekanan diskon dapat merusak reputasi global mobil buatan Cina.

Dampak domino dari konsumen, dealer, dan pemasok

Sementara konsumen menikmati mobil listrik dengan harga miring, ada risiko yang tak bisa diabaikan. Harga yang tidak stabil menimbulkan ketidakpercayaan konsumen. Banyak pertanyaan mengemuka di media sosial: mengapa membeli sekarang, jika minggu depan bisa lebih murah?

Ketidakpastian ini diperparah oleh potensi penurunan kualitas produk karena perusahaan harus menekan biaya. Risiko terhadap keselamatan, layanan purnajual, dan keberlanjutan rantai pasok menjadi ancaman nyata.

Jaringan dealer pun ikut terpukul. Sejak April, dua grup dealer dilaporkan bangkrut—keduanya menjual mobil BYD. Di sisi lain, pemasok komponen juga mengalami tekanan besar. BYD bahkan dikabarkan meminta diskon kepada pemasok akhir tahun lalu, yang memicu kekhawatiran soal kesehatan keuangan raksasa otomotif ini.

GMT Research menyebut utang bersih BYD kemungkinan jauh lebih besar dari laporan resmi—mencapai 323 miliar yuan atau sekitar US$45 miliar.

Pemerintah Cina telah mencoba meredam perang harga ini sebelumnya. Pada pertengahan 2023, 16 produsen mobil besar termasuk Tesla, BYD, dan Geely menandatangani pakta anti-perang harga yang disaksikan oleh Asosiasi Produsen Mobil Cina (CAAM). Namun, hanya dalam hitungan hari, asosiasi mencabut sebagian isi kesepakatan karena dinilai melanggar hukum antimonopoli.

Kini, dengan tekanan yang terus meningkat, pemerintah kembali mendesak produsen untuk mengendalikan diri. Mereka diminta tidak menjual mobil di bawah harga pokok atau menawarkan diskon tidak masuk akal. Namun, langkah ini bisa dibilang terlambat, mengingat pasar sudah telanjur terbiasa dengan perang diskon.

Sejumlah analis menyebutkan bahwa produsen asing seperti Tesla sebaiknya berpikir ulang untuk terus bermain di Cina. Menurut John Murphy dari Bank of America, "Tesla mungkin perlu berada di sana untuk memahami dinamika pasar, tetapi risikonya sangat besar."

 

Editorial Team