AS dan Cina Bersaing Dominasi Industri Robot Humanoid Global

Jakarta, FORTUNE - Amerika Serikat dan Cina tengah berlomba membangun robot humanoid paling canggih di dunia. Persaingan ini terlihat jelas sejak April lalu saat Beijing menggelar lomba setengah maraton pertama di dunia antara manusia dan robot.
Sementara itu, di Amerika Serikat raksasa teknologi Nvidia memamerkan berbagai robot dalam konferensi pengembang AI tahunan pada Maret. Di AS, Tesla jadi andalan dan di Cina ada Unitree Robotics. Pasar robot ini dinilai sangat menjanjikan, memunculkan era baru kolaborasi manusia dan mesin yang dulu hanya ada dalam fiksi.
Laporan Morgan Stanley Research yang dirilis bulan lalu memperkirakan nilai pasar global humanoid bisa menembus US$5 triliun pada 2050, dengan lebih dari 1 miliar unit beroperasi—302,3 juta di antaranya diprediksi berada di Cina, jauh melampaui AS dengan US$77,7 juta.
Melansir Channel New Asia (5/6), robot humanoid Cina pertama kali mencuri perhatian dunia saat tampil menari dalam Gala Festival Musim Semi awal tahun ini. Industri robotik Negeri Tirai Bambu kini masuk fase produksi massal dengan target lebih dari 1.000 unit sepanjang 2025, menghasilkan nilai output domestik sekitar US$610 juta.
Kesuksesan ini ditopang rantai pasok yang matang, kebijakan pemerintah, serta pendanaan yang konsisten mendorong pertumbuhan sektor tersebut. Pada akhir 2024, Cina memiliki 451.700 perusahaan robotika pintar—melonjak 206 persen dibanding 2020.
“Perkembangan ini mencerminkan sinergi sektor publik dan swasta, ditopang talenta STEM kelas dunia serta infrastruktur manufaktur yang sudah mapan,” kata analis teknologi asal Washington, Ray Wang.
Forum teknologi tahunan Zhongguancun di Beijing pun menampilkan deretan inovasi robotik, termasuk Nia, robot layanan pelanggan dari Qingfei Technologies. CEO-nya, Wei Yufei, berharap robot bisa menggantikan peran manusia di sektor layanan, termasuk pendidikan hingga pendamping emosional.
Analis menilai robotika menjadi solusi strategis bagi tantangan demografis Cina, seperti populasi menua dan angka kelahiran yang menurun. Wang menyebut pemerintah melihat robot humanoid sebagai “teknologi frontier” yang menjadi prioritas nasional di tengah persaingan strategis dengan AS.
Adu strategi, siapa pemenangnya?
Di sisi lain, CEO Tesla Elon Musk mengumumkan rencana memproduksi sekitar 5.000 unit robot humanoid Optimus tahun ini. Baik Tesla maupun Nvidia memandang robot sebagai teknologi masa depan.
CEO Nvidia Jensen Huang bahkan menyebut bahwa humanoid siap digunakan secara luas dalam lima tahun ke depan. “AI fisik dan robotik berkembang sangat cepat. Semua pihak perlu mencermati sektor ini. Ini bisa menjadi industri terbesar dari semuanya,” ujarnya dalam pidato utama di konferensi GPU Technology di San Jose, Maret lalu, dikutip dari siaran YouTube NVIDIA (18/3).
Perusahaan besar lain seperti Microsoft, Google, dan OpenAI juga turut serta. Startup Figure AI asal AS bahkan mengamankan pendanaan US$675 juta dari para tokoh teknologi, termasuk pendiri Amazon Jeff Bezos, untuk membangun humanoid komersial pertama di dunia.
Perusahaan rintisan lain, 1X Technologies—pengembang robot Neo—menyatakan bahwa robot humanoid bisa menjadi solusi atas krisis tenaga kerja. “Perjalanan ini dimulai dari rumah,” kata CEO sekaligus pendirinya, Bernt Bornich. Ia menambahkan bahwa kompetisi global penting demi menjaga keunggulan dan mendorong kemajuan bersama.
Analis menyebut baik Cina maupun AS menunjukkan kemajuan signifikan. Mengutip Channel New Asia, Bob O’Donnell, Presiden TECHnalysis Research, menilai Cina unggul dalam pengembangan komponen inti seperti motor dan sensor, sementara AS fokus pada pengembangan perangkat lunak.
Namun, ketegangan geopolitik menambah kompleksitas. AS telah memberlakukan tarif impor dan pembatasan ekspor semikonduktor ke Cina. Meski bisa menghambat kolaborasi, para pakar meyakini pengembangan humanoid akan terus berlanjut. “Banyak kemajuan teknologi kini cepat ditiru. Ada pepatah: membangun desa butuh kerja sama. Tapi membangun robotika, butuh seluruh dunia,” ujar O’Donnell.