Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS). (Dok. Sawit Sumbermas Sarana)

Intinya sih...

  • Produksi sawit nasional stagnan selama lima tahun terakhir, tidak pernah mencapai angka 49 juta ton.

  • Kebutuhan domestik untuk konsumsi pangan dan biodiesel terus meningkat, sementara moratorium lahan sawit membatasi ekspansi.

  • Sawit berperan penting dalam perekonomian nasional, menyumbang devisa negara dan menyerap tenaga kerja.

Jakarta, FORTUNE — Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), Eko Prasetyo, memperingatkan bahwa Indonesia berisiko menjadi negara importir minyak sawit pada 2045. Peringatan keras ini disampaikan menyusul produksi sawit nasional yang terus stagnan sementara kebutuhan domestik, terutama untuk program biodiesel, terus melonjak.

“Selama lima tahun terakhir, produksi sawit nasional tidak pernah menembus angka di atas 49 juta ton,” kata Eko dalam Kagama Leaders Forum di Jakarta, Kamis (18/7). Ia mengatakan, dari total produksi tersebut, sekitar 20 juta ton kini terserap untuk kebutuhan domestik yang terdiri dari 10 juta ton untuk pangan dan hampir jumlah yang sama untuk biodiesel.

Menurut Eko, stagnasi produksi ini salah satunya disebabkan oleh kebijakan moratorium yang membuat luas lahan perkebunan sawit nasional mandek pada angka 16 juta hektare. Hal ini diperparah dengan banyaknya pohon sawit yang sudah tua dan tidak produktif.

“Suatu ketika pada saat tahun 2045 kalau produksi kita stagnan, kita kemungkinan akan bisa mengimpor sawit. Ini menjadi kontradiksi ke depan,” ujar Eko.

Moratorium sawit adalah kebijakan penundaan izin baru untuk perkebunan kelapa sawit yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018. Meskipun masa berlaku Inpres ini secara formal berakhir pada September 2021, pemerintah menyatakan kebijakan penundaan izin baru tersebut secara efektif masih berlaku untuk menjaga tata kelola dan mencegah deforestasi.

Eko juga menyoroti peran strategis industri sawit bagi perekonomian. Ia mengingatkan bahwa stagnasi tidak hanya mengancam status Indonesia sebagai produsen utama, tetapi juga stabilitas ekonomi dan sosial, terutama sebagai penyumbang devisa negara melalui ekspor. Dengan harga sawit saat ini sekitar US$1.000 per metrik ton, pungutan ekspor bisa mencapai US$150 per ton. Dana ini dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dan digunakan untuk program replanting, khususnya bagi pekebun rakyat.

“Ingat, 41 persen dari pemilik lahan sawit di Indonesia adalah masyarakat. Industri ini menyerap sekitar 17 juta tenaga kerja dari total 153 juta angkatan kerja nasional. Kalau industri ini stagnan, bukan hanya devisa yang tergerus, tapi juga lapangan kerja yang terancam,” ujarnya.

Menurut Eko, saat ini industri hilir sawit sudah sangat siap dan bahkan memiliki kapasitas olah yang melebihi ketersediaan bahan baku. Namun, tanpa solusi atas keterbatasan lahan dan percepatan replanting, ketimpangan antara kapasitas industri dan bahan baku akan terus melebar.

“Ingat, 41 persen dari pemilik lahan sawit di Indonesia adalah masyarakat. Industri ini menyerap sekitar 17 juta tenaga kerja dari total 153 juta angkatan kerja nasional. Kalau industri ini stagnan, bukan hanya devisa yang tergerus, tapi juga lapangan kerja yang terancam,” ujarnya.

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, mengakui bahwa stagnasi produksi disebabkan oleh banyaknya pohon sawit yang sudah tua sehingga produktivitasnya menurun.

Untuk mengatasinya, pemerintah mendorong program peremajaan sawit rakyat atau replanting. Meski demikian, Amran tidak dapat menjamin produksi akan meningkat dalam waktu dekat.

“Kita sudah lakukan replanting. Pasti produksi akan naik. Doakan saja,” ujarnya.

Editorial Team