Hadapi Aturan Deforestasi Uni Eropa, Indonesia Genjot Pusat Data Sawit Siprosatu

- Pemerintah kembangkan pusat data sawit untuk hadapi regulasi EUDR Uni Eropa
- Pusat data berbasis Siprosatu akan merekam jejak sawit dari hulu ke hilir secara transparan
- Gandeng Siemens untuk urusan teknis, sistem ini mendapat dukungan dari Dewan Minyak Sawit Indonesia
Jakarta, FORTUNE - Merespons penundaan Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR), pemerintah Indonesia mempercepat pengembangan pusat data sawit nasional yang diberi nama Siprosatu. Penundaan pemberlakuan regulasi hingga 30 Desember 2025 memberikan waktu tambahan bagi Indonesia membangun sistem ketertelusuran (traceability) dari hulu ke hilir secara komprehensif.
Langkah ini dinilai sebagai momentum krusial bagi perbaikan tata kelola industri sawit nasional. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, menyebut sistem ini sebagai "titik nol" yang telah lama dibutuhkan.
“Selama ini kita hanya mengira-ngira. Bisnis kita berjalan tanpa titik nol yang jelas. Bagaimana kita tahu 10 meter kalau titik awalnya saja tidak ada? Dengan Siprosatu, semuanya akan menjadi terang,” kata Sahat saat ditemui di Jakarta, Rabu (11/6).
Pusat data ini dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan akan mampu merekam jejak sawit dari kebun hingga titik ekspor. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, menjelaskan Siprosatu bukan hanya ditujukan untuk memenuhi tuntutan EUDR, tetapi juga menjadi fondasi menuju sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang kredibel.
“Ini akan menjadi pusat data nasional berbasis sistem. Bisa ditelusuri dari asal tandan buah segar (TBS), legalitas lahannya, lokasi pabrik pengolahan, sampai produksi dan pengiriman,” kata Putu. “Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal membangun kepercayaan. Kepercayaan dari pembeli internasional, dan yang terpenting, dari konsumen.”
Untuk mempercepat pembangunannya, pemerintah menggandeng Siemens Indonesia sebagai mitra teknis. Presiden Direktur dan CEO Siemens Indonesia, Surya Fitri, menyatakan kesiapannya untuk memberikan pendampingan dalam merancang sistem digitalisasi yang sesuai kebutuhan lapangan.
“Kami ingin teknologi kami bisa diterapkan. Tentu ini akan memerlukan waktu dan pemahaman yang mendalam dari dua sisi—dari teknologi yang kami miliki, dan dari kebutuhan riil di lapangan. Kami terbuka untuk konsultasi dan bimbingan teknis,” ujar Surya.
Sahat Sinaga menambahkan, sistem terpusat ini akan menutup celah manipulasi dan memperkuat daya saing Indonesia di pasar global dengan landasan data yang akurat.
“Kalau semua data bisa terekam—berapa TBS dari petani, dari kebun inti, berapa masuk ke pabrik, sampai ke pelabuhan—maka tak ada lagi yang terlupakan,” ujarnya. “Kalau kamu tidak tahu kondisi tubuhmu, bagaimana mau lari? Dengan Siprosatu, kita tahu posisi kita. Kita bisa bersaing di pasar dunia, termasuk jika ada kampanye hitam terhadap sawit.”
Pembangunan sistem digital ini menjadi sangat penting mengingat skala industri sawit Indonesia yang tersebar di 27 provinsi dari Aceh hingga Papua, sebuah kompleksitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara produsen lainnya.
Dengan fondasi data yang kuat, Indonesia berharap tidak hanya mampu menjawab tantangan EUDR, tetapi juga mampu menampilkan wajah baru industri sawit yang modern, terbuka, dan berdaya saing tinggi di kancah global.