Riset: Kepercayaan Karyawan Merosot Akibat Kecemasan PHK

Jakarta, FORTUNE - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kembali melanda Indonesia pada awal 2025, menandai tantangan signifikan bagi sektor industri nasional. Beberapa perusahaan besar terpaksa menutup operasionalnya, mengakibatkan ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian. Hal ini berdampak pada ketidakpuasan di kalangan pekerja terus meningkat.
Secara global, indeks kepercayaan karyawan dari Glassdoor baru saja mencapai level terendah dalam hampir satu dekade akibat perang dagang dan gelombang PHK besar-besaran yang membuat pekerja merasa tidak aman serta harus “melakukan lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit.”
Menurut data terbaru yang dirilis Glassdoor pada Selasa (11/3), pekerja belum pernah sepesimistis ini terhadap masa depan dalam hampir satu dekade. Hanya 44,4 persen pekerja yang memiliki pandangan positif terhadap bisnis mereka dalam enam bulan ke depan, berdasarkan Glassdoor Employee Confidence Index. Riset ini mengukur sentimen karyawan dalam kategori positif, negatif, atau netral. Angka ini merupakan yang terendah sejak Glassdoor meluncurkan indeks tersebut pada 2016.
“Ada banyak kegelisahan di kalangan pekerja tentang arah ekonomi dan bagaimana hal itu dapat memengaruhi pekerjaan mereka,” kata Daniel Zhao, Kepala Ekonom Glassdoor, melansir Fortune.com (12/3). “Kecemasan ekonomi meningkat seiring dengan meningkatnya ketidakpastian ekonomi," katanya, menambahkan.
Ketakutan akan PHK menambah kelelahan bekerja
Gelombang PHK di sektor pemerintahan yang banyak diberitakan menjadi salah satu faktor utama menurunnya kepercayaan karyawan, kata Zhao. Karyawan di bidang administrasi publik dan pemerintahan mengalami penurunan kepercayaan terbesar, diikuti oleh sektor kedirgantaraan dan pertahanan.
Namun, bukan hanya ketakutan akan PHK yang membuat moral pekerja anjlok. Bahkan mereka yang selamat dari PHK juga merasakan dampaknya, seperti yang terlihat dalam ulasan Glassdoor.
“Banyak orang berbicara tentang kelelahan kerja, diminta melakukan lebih banyak pekerjaan dengan sumber daya lebih sedikit, atau menghadapi ekspektasi yang sangat tinggi tanpa dukungan yang memadai,” jelas Zhao.
Kontras dengan era Great Resignation dan Great Reshuffle beberapa tahun lalu—ketika pasar tenaga kerja sedang panas dan pekerja lebih mudah mendapatkan pekerjaan, kenaikan gaji, atau promosi—hanya memperparah rasa frustrasi karyawan saat ini, tambah Zhao. Puluhan juta pekerja beralih ke pekerjaan baru atau menjadi wiraswasta, yang memicu lonjakan gaji secara historis; bahkan McDonald’s sempat menawarkan bonus tanda tangan.
“Saat itu, semua orang berbicara tentang kelangkaan tenaga kerja, dan sangat mudah mendapatkan pekerjaan, kenaikan gaji, atau promosi,” katanya.
Fakta tersebut menunjukkan ada perubahan kekuatan dari pekerja kembali ke pemberi kerja membuat situasi saat ini terasa lebih buruk karena orang tahu apa yang mungkin terjadi, tetapi sekarang mereka merasa telah kehilangan kesempatan itu. Dalam data lain, dua dari tiga pekerja dalam survei Glassdoor mengatakan bahwa mereka merasa “terjebak” dalam pekerjaan mereka.
“Kita melihat banyak pekerja yang kecewa atau merasa kesal dengan situasi mereka di tempat kerja, dan pada akhirnya, ini adalah krisis keterlibatan karyawan,” tutup Zhao.