Bain Ramal Industri Barang Mewah Tumbuh 5% pada 2026

Jakarta, FORTUNE - Setelah dua tahun mengalami perlambatan permintaan, pasar barang mewah diperkirakan kembali mencatatkan pertumbuhan pada 2026, dengan kisaran kenaikan antara 3 persen hingga 5 persen, menurut laporan terbaru firma konsultan manajemen Bain, yang disusun bersama asosiasi industri barang mewah Italia Altagamma.
Kedua organisasi tersebut memperkirakan belanja barang mewah pada 2025 akan relatif stagnan di level €1,44 triliun, atau berada di kisaran -1 persen hingga 1 persen. Sementara itu, pasar barang mewah personal diproyeksikan mencapai €358 miliar hingga akhir tahun ini, turun dari €364 miliar pada tahun lalu dan €369 miliar pada 2023. Angka tersebut mencerminkan penurunan tahunan (year-on-year/YoY) sebesar 2 persen berdasarkan nilai tukar berjalan, dan relatif datar jika dihitung dengan kurs konstan. Demikian diungkap dalam laporan yang dirilis November 2025 ini.
Prospek ini menjadi secercah harapan setelah periode lesu yang berkepanjangan. Pada 2024, untuk pertama kalinya sejak resesi besar, di luar periode pandemi Covid-19, pasar barang mewah mengalami kontraksi. Nilai pasar menyusut sekitar 2 persen, dan industri kehilangan sekitar 50 juta pelanggan. Pada Juni lalu, Bain menyebut prospek 2025 masih dibayangi ketidakpastian tarif dan memaparkan tiga skenario kinerja. Kini, Bain memproyeksikan skenario terbaik, di mana kinerja pasar Amerika Serikat yang lebih kuat dari perkiraan mampu menutupi hasil Eropa yang lebih lemah.
Bain juga menegaskan bahwa dalam 10 tahun ke depan, pasar barang mewah personal berpotensi tumbuh 4 persen hingga 6 persen per tahun, dengan nilai mencapai €525 miliar hingga €625 miliar. Sementara itu, total belanja barang mewah global diperkirakan berada di rentang €2,2 triliun hingga €2,7 triliun.
“Ini kabar baik, mengingat ketidakpastian global, gejolak, tarif, instabilitas geopolitik, perang, kondisi makroekonomi, serta kepercayaan konsumen pasar ini tetap stabil. Ini pesan positif, karena tampaknya konsumen masih memiliki selera terhadap produk mewah,” ujar Federica Levato, partner Bain sekaligus salah satu penulis laporan tersebut.
Pasar Eropa masih tertekan
Dari sisi wilayah, Timur Tengah dan kawasan lain di luar pasar utama mencatatkan kinerja terbaik, tumbuh 4 persen hingga 6 persen sepanjang tahun ini, didorong oleh arus wisatawan dan permintaan domestik. Amerika relatif stabil, meski sempat bergejolak pada paruh pertama sebelum pulih pada paruh kedua, seiring rebound pasar saham dan meningkatnya kepercayaan konsumen berpenghasilan tinggi.
Eropa mengalami tekanan akibat berkurangnya wisatawan, demikian pula Jepang. Sementara itu, China daratan masih mencatat penurunan, meski mulai menunjukkan tanda-tanda stabilisasi sejak kuartal III. Secara keseluruhan, kondisi ini membentuk pasar barang mewah global yang lebih stabil.
Meski demikian, Bain menilai merek-merek mewah masih gagal memberikan nilai yang memadai. Akuisisi pelanggan baru di industri barang mewah turun 5 persen dalam setahun terakhir, dan pasar saat ini hanya melayani sekitar 40 persen hingga 45 persendari total konsumen potensialnya, turun dari sekitar 60 persen pada 2022.
“Kesenjangannya semakin melebar, dan ini menjadi sinyal yang mengkhawatirkan bagi pasar,” kata Levato. Bahkan konsumen superkaya pun mulai merasa kecewa akibat kenaikan harga yang berkelanjutan, sehingga mengalihkan belanja mereka ke kategori lain seperti perjalanan, pengalaman, atau merek dengan nilai lebih baik.
Segmen accessible luxury bertumbuh
Berdasarkan segmen, accessible luxury seperti Coach dan Ralph Lauren, menjadi segmen dengan kinerja terbaik, di mana 50 persen merek mencatatkan pertumbuhan. “Segmen accessible luxury berhasil merekrut pelanggan baru sekaligus mengaktifkan kembali pelanggan lama,” ujar Levato. Sebaliknya, hanya 35 persen merek luxury absolut seperti Hermès dan Loro Piana yang tumbuh, sementara segmen aspirational luxury, yang mencakup merek seperti Gucci dan Louis Vuitton, hanya mencatatkan 25 persen merek yang tumbuh.
Di tengah kebijakan tarif Amerika Serikat, merek-merek mewah memang menaikkan harga. Namun, menurut Levato, masalah utamanya bukan pada kenaikan harga bertahap, melainkan pada minimnya produk entry-level. “Saat ini muncul gelombang baru direktur kreatif yang kembali membangkitkan minat terhadap merek dan industri ini, tetapi diperlukan etika yang lebih kuat dalam penetapan harga agar minat tersebut dapat dikonversi menjadi penjualan, loyalitas, dan advokasi merek,” ujarnya.
Pasar perhiasan tampil lebih unggul tahun ini, sebagian karena merek perhiasan tidak menaikkan harga secara signifikan meski harga emas meningkat. Bahkan ketika terjadi kenaikan harga, langkah tersebut dinilai masih dapat dijustifikasi secara logis. “Banyak perhiasan yang dijual di kisaran €1.000, tetapi tidak banyak tas atau sepatu di level harga tersebut,” kata Levato.
Kendati harga meningkat, industri barang mewah masih menghadapi persoalan profitabilitas. Seiring naiknya biaya operasional, margin EBITDA merek barang mewah personal kini berada di kisaran 15 persen hingga 16 persen, setara dengan level pada 2009. Puncaknya terjadi pada 2012 dengan margin sekitar 23 persen. Levato menilai sebagian besar biaya tersebut bersifat tetap, sehingga fokus utama seharusnya pada pemulihan pertumbuhan pendapatan.
Dengan gagal memperbaiki persepsi nilai, merek-merek mewah dinilai melewatkan peluang besar, terlebih ketika konsumen kini mulai membeli produk mewah pada usia lebih muda dan hidup lebih lama. “Merek barang mewah belum memberikan nilai yang diharapkan konsumen,” ujar Levato.
“Seruan kami jelas: membangun kembali etika dalam penetapan harga dan menjalin kembali hubungan dengan pelanggan yang hilang akibat strategi kenaikan harga berlebihan," katanya, menambahkan.
















