Pasar Padel di Swedia Runtuh, Akankah di Indonesia Bisa Bertahan?

Jakarta, FORTUNE - Padel pernah menjadi olahraga yang menggemparkan Swedia. Dimulai saat pandemi Covid-19, ribuan lapangan dibangun dalam waktu singkat, investor berbondong-bondong masuk, dan masyarakat bahkan menyebutnya sebagai olahraga nasional baru. Pada puncaknya, tercatat ada sekitar 700.000 pemain padel di negara dengan populasi hanya 10 juta jiwa.
Namun, euforia itu tidak bertahan lama. Seiring pandemi mereda dan aktivitas kembali normal, jumlah pemain menurun tajam. Banyak lapangan yang dulu padat kini kosong, terutama di luar jam sibuk. Sejumlah fasilitas terpaksa ditutup atau dialihfungsikan menjadi gudang dan toko. Fenomena ini berubah dari yang awalnya disebut sebagai “demam emas” menjadi krisis bisnis olahraga.
Salah satu kasus terbesar menimpa We Are Padel, raksasa bisnis padel Swedia. Perusahaan ini harus melakukan restrukturisasi, menutup sebagian besar lokasi, hingga hanya menyisakan 13 klub aktif pada 2023 setelah mencatat kerugian Rp1 triliun lebih. Bahkan, PDL United, perusahaan pesaing yang didukung investor besar, juga bangkrut. Data dari Creditsafe menunjukkan hampir 90 perusahaan padel di Swedia gulung tikar sepanjang 2023.
Situasi di Indonesia tampak berbeda. Olahraga padel justru tengah naik daun, terutama di kalangan masyarakat urban. Menurut data The International Padel Federation (FIP), Indonesia kini menempati peringkat ke-6 dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, dan ke-29 di dunia. Hingga Juni 2025, Perkumpulan Besar Padel Indonesia (PBPI) mencatat ada 133 lapangan padel permanen yang tersebar di berbagai kota.
Padel di Indonesia bukan sekadar olahraga, tapi juga telah menjadi gaya hidup. Banyak kalangan menilainya sebagai simbol status sosial baru, terutama karena fasilitasnya banyak berdiri di pusat kota dan mal premium.
Bisnis padel di Indonesia masih rentan
Meski terlihat menjanjikan, sejumlah tanda bahaya mulai muncul. Ledakan lapangan padel di kota besar Indonesia menunjukkan pola serupa dengan Swedia: over-investment dan over-capacity. Banyak investor membangun lapangan tanpa riset mendalam soal permintaan jangka panjang.
Selain itu, karakter konsumen urban di Indonesia dikenal mudah terpengaruh tren. Seperti futsal, zumba, pilates, hingga sepeda yang pernah booming namun cepat redup, padel pun bisa saja hanya menjadi tren musiman.
“Hype itu seperti api unggun: panas dan terang, tapi cepat padam jika tak diberi bahan bakar. Sport business yang hanya menunggangi euforia tanpa melihat sustainable demand dan ekosistem yang mapan akan terancam layu sebelum berkembang,” ujar Yuswohady, Managing Partner Inventure dan pakar pemasaran, Senin (29/9).
Ia menambahkan, konsumen olahraga kerap lebih dipengaruhi gaya hidup ketimbang kebutuhan fisik. “Zumba laris bukan hanya karena gerakannya, tapi karena jadi ajang kebersamaan dan self-branding. Begitu identitas itu kehilangan nilai sosialnya, minat pun ikut menguap.”
Sebagian besar klub padel di Indonesia mengandalkan model bisnis sewa lapangan per jam dengan harga premium. Untuk balik modal, okupansi harus mencapai 60–70 persen di jam sibuk. Jika tren mereda, okupansi menurun, biaya operasional seperti sewa lokasi, maintenance, dan tenaga kerja tidak tertutup.
Tanpa diversifikasi pendapatan, misalnya dari sponsorship, event, atau membership, bisnis padel berisiko mengalami nasib serupa dengan Swedia.
“Daya tahan sport business ditentukan oleh kemampuannya mentransformasi olahraga dari hype menjadi habit. Ada hype yang berubah permanen, tapi lebih dari 90 persen berakhir menguap,” kata Yuswohady.
Kisah runtuhnya padel di Swedia menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Meski saat ini tengah booming dan didukung gaya hidup masyarakat urban, keberlangsungan padel bergantung pada strategi bisnis yang lebih matang, ekosistem yang berkelanjutan, dan kemampuan mengubah tren menjadi kebiasaan jangka panjang. Jika tidak, pasar padel Indonesia bisa saja mengikuti jejak Swedia: bersinar sesaat, lalu meredup secara perlahan.