Banyak Tantangan Eksternal &Internal, Ini Proyeksi DBS Bagi Ekonomi RI

- Tekanan fiskal dan tarif dagang mempengaruhi ekonomi RI di 2025
- Defisit anggaran sebesar -0,4% dari PDB pada kuartal pertama tahun ini
- Ketegangan tarif dagang dengan AS dapat membuat kontraksi langsung 0,5% terhadap PDB
Jakarta, FORTUNE - Perekonomian Indonesia tahun ini menghadapi tekanan dari berbagai sisi, mulai dari tantangan fiskal, dinamika global, hingga risiko tarif dagang yang diperkirakan akan berdampak utama bagi laju ekonomi Indonesia di 2025.
Pada kuartal pertama anggaran Indonesia kembali defisit sebesar -0,4 persen dari PDB, tergelincir ke zona merah lebih awal dari tahun-tahun sebelumnya. Adapun, pendapatan negara secara kumulatif sepanjang kuartal I tahun ini menurun 13,6 persen secara tahunan, masih menandakan dorongan yang lemah.
Senior Economist Bank DBS Radhika Rao menilai sebagian dari penurunan disebabkan dari pengenalan Coretax sejak Januari tahun ini. Akibatnya menimbulkan ketidakseimbangan dalam menangkap data yang relevan.
"Secara tahunan, segmen siklikal seperti pendapatan bukan pajak tetap lemah sebesar -26 persen di bulan Maret, mencatat penurunan yang lebih dalam dibandingkan penurunan 4 persen di Februari, akibat melemahnya pendapatan yang terkait dengan komoditas/sumber daya," terang Radhika dalam keterangan resmi yang diterima Fortune Indonesia, Rabu (23/4).
Ia juga menyoroti total pengeluaran di triwulan pertama tahun 2025 naik 1,4 persen secara tahunan. Analisa Radhika, beban terbesarnya disebabkan oleh pencairan program-program kesejahteraan dari kebiijakan fiskal PEmerintah, seperti "Makan Bergizi Gratis" dan juga eksekusi dari rencana pemangkasan anggaran.
Tantangan Eksternal
Di sisi eksternal, ketegangan tarif dagang dengan Amerika Serikat menjadi awan gelap. Meskipun ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 2 persen dari PDB, namun sektor-sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki sangat rentan. Menurut Radhika jika tarif tinggi diberlakukan, berpotensi membuat kontraksi langsung setidaknya 0,5 persen terhadap PDB. Kemudian efeknya bisa saja berlangsung sampai tahun depan.
Tekanan eksternal ini juga menyebabkan rupiah masih tertekan. Ini mengundang kehati-hatian dari Bank Indonesia terhadap pemangkasan suku bunga. Radhika mengatakan apabila ketidakpastian global berkepanjangan, serta tidak membaikknya perkembangan fiskal dalam negeri dapat mendorong penurunan suku bunga.
"DBS memperkirakan para pembuat kebijakan masih akan memanfaatkan peluang yang ada, ketika isu tarif mengendap, untuk menurunkan suku bunga sebesar 50bps di tahun ini, karena suku bunga riil menandakan adanya penyangga yang signifikan," ujar dia,
Namun, DBS mengingatkan bahwa pemulihan ekonomi tidak hanya bergantung pada peredaan tensi dagang, melainkan juga pembenahan fundamental domestik.
"Meski hambatan tarif masih membayangi, kendala dalam negeri perlu diselesaikan agar pemulihan bisa berjalan lebih kuat," ujar dia.