Jakarta, FORTUNE - Krisis properti yang melanda perekonomian Cina memasuki babak baru. Para pengembang properti dikabarkan sulit menjual asetnya seiring penurunan harga saat ini. Padahal, penjualan aset ini penting bagi kas perusahaan.
Harga perumahan, misalnya, turun untuk pertama kalinya dalam enam tahun terakhir pada bulan lalu. Sementara tingkat persil tanah (tanah dengan ukuran tertentu) yang tidak terjual melonjak ke level tertinggi sejak 2018.
Bahkan, berdasarkan data dari China Real Estate Information, per September 2021 penjualan rumah baru di 100 pengembang teratas turun 32 persen secara tahunan. Penjualan diperkirakan terus melambat hingga akhir tahun ini.
Penurunan harga properti ini diperkirakan berdampak negatif pada nilai potensial proyek real estate. Di samping itu, ini juga menambah kerumitan upaya penjualan aset bagi banyak pengembang. Modern Land Cina, misalnya, gagal membayar surat utang senilai US$250 juta (sekitar Rp3,56 triliun) setelah tak sanggup menjual beberapa asetnya.
Di sisi lain, Evergrande Group juga dikabarkan gagal dalam rencana membongkar kantornya di Hong Kong. Perusahaan ini juga sudah mengakhiri diskusi untuk menjual saham pengendalinya dalam bisnis properti senilai US$2,6 miliar (Rp37,05 triliun).
Sementara itu, Oceanwide Holdings sedang berupaya membongkar kompleks kantor utamanya di Beijing. Hal ini setelah unit properti mereka mengalami gagal bayar.