Suku Bunga Fed Diprediksi Turun, Obligasi RI Jadi Incaran Investor Asing

- BI memperkirakan Fed akan memangkas suku bunga acuan hingga akhir tahun
- Pelebaran selisih imbal hasil antara Indonesia dan AS mendorong aliran dana asing ke obligasi dan saham Indonesia
- Kombinasi penurunan FFR dan fundamental domestik yang solid membuka peluang positif di pasar obligasi dan saham
Jakarta, FORTUNE - Sinyal penurunan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) alias Fed sebanyak dua kali hingga akhir 2025 diperkirakan akan melebarkan selisih imbal hasil (yield spread) antara Indonesia dan AS. Kondisi ini menjadi katalis utama yang memperkuat daya tarik aset investasi Tanah Air, khususnya di pasar obligasi.
Bank Indonesia (BI) memproyeksikan Fed akan memangkas Fed Funds Rate (FFR) sebesar total 50 basis poin (bps), membawa suku bunga acuan AS ke kisaran 3,75–4,00 persen dari level saat ini 4,25–4,50 persen.
Chief Investment Officer PT Inovasi Finansial Teknologi (Makmur), Stefanus Dennis Winarto, menilai pelebaran selisih ini menjadi faktor kunci bagi investor global.
"Apabila Fed memangkas suku bunga sebesar 50 bps tahun ini, spread BI Rate terhadap FFR akan melebar hingga 100–125 bps," ujarnya.
Daya tarik imbal hasil Indonesia yang lebih tinggi telah tecermin pada data aliran modal asing. Secara year-to-date (YtD) hingga 21 Agustus 2025, investor asing telah membukukan jual bersih (outflow) sebesar Rp52,99 triliun di pasar saham, tapi melakukan aksi beli bersih (inflow) sebesar Rp71,63 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
“Spread yang lebih lebar berarti imbal hasil instrumen di Indonesia relatif lebih menarik dibandingkan AS. Hal ini berpotensi mendorong aliran dana asing (net inflow) ke obligasi maupun saham Indonesia,” demikian Stefanus dalam risetnya, dikutip Selasa (26/8).
Saat ini, yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun (INDO10Y) berada pada level 6,3–6,4 persen. Angka ini jauh lebih unggul dibandingkan dengan obligasi AS (UST 10Y) sebesar 4,27 persen, maupun obligasi Malaysia (3,39 persen) dan Thailand (2,08 persen).
Fundamental domestik jadi penopang
Daya tarik Indonesia tidak hanya bersumber dari selisih yield, tapi juga ditopang oleh fundamental ekonomi domestik yang solid. Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang mencapai 5,12 persen (YoY), inflasi yang stabil pada target BI 2,5±1 persen, serta nilai tukar rupiah yang relatif terkendali menjadi tameng pelindung di tengah ketidakpastian global.
“Dengan pertumbuhan di atas 5 persen, inflasi terkendali, dan rupiah stabil, Indonesia berada dalam posisi relatif lebih kuat dibanding sejumlah negara emerging market,” ujar Stefanus.
Sentimen positif ini diperkuat oleh pernyataan bernada dovish dari Ketua Fed, Jerome Powell, dalam simposium Jackson Hole, yang menguatkan ekspektasi pemangkasan bunga pada September 2025.
Menurut Stefanus, kombinasi faktor global dan fundamental domestik ini membuka peluang pada dua kelas aset: obligasi pemerintah dan saham. Penurunan yield global berpotensi meningkatkan permintaan obligasi Indonesia, membuka ruang untuk keuntungan modal (capital gain).
Namun, untuk pasar saham, tantangannya adalah pertumbuhan laba emiten berkapitalisasi besar yang cenderung stagnan.
"Keberlanjutan inflow akan sangat bergantung pada perbaikan kinerja emiten ke depan," katanya.
Oleh karena itu, Stefanus menekankan momentum saat ini paling optimal dimanfaatkan melalui reksa dana pendapatan tetap (RDPT). Instrumen ini menarik karena mengalokasikan minimal 80 persen portofolio pada surat utang, sehingga menawarkan kestabilan imbal hasil dengan risiko lebih rendah dibandingkan dengan saham.
“Dengan potensi inflow asing ke pasar obligasi dan peluang berlanjutnya pemangkasan suku bunga BI, kinerja RDPT dapat terdongkrak. Sehingga, instrumen ini dapat menjadi pilihan dalam portofolio,” ujar Stefanus.