MARKET

A&M: Emiten di Indonesia Masih Rapuh Pascapandemi, Mengapa?

Namun, 44 persen di antaranya berpeluang bangkit lagi.

A&M: Emiten di Indonesia Masih Rapuh Pascapandemi, Mengapa?Managing Director and Country Head A&M, Indonesia, Alessandro Gazzini (Alex).
18 January 2024
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Riset perusahaan konsultan global, Alvarez & Marsal (A&M), menemukan fakta bahwa para emiten atau perusahaan terbuka di Indonesia masih tampak rapuh setelah pandemi.

Lewat laporan Indonesia A&M Distress Alert (ADA): Indonesian Companies Remain Under Stress Despite Post-Covid Recovery (2024), A&M mengungkap, situasi keuangan belum kembali ke tingkat sebelum COVID-19 dan pemulihan dari tekanan perusahaan tampak lamban di Indonesia.

Lebih dari 44 persen perusahaan yang mengalami kesulitan pada tahun 2022 sudah mengalami kondisi ini tiga tahun sebelumnya. Lalu, hanya 32 persen yang kembali ke status semula setelah pandemi.

Ini berbanding terbalik dengan negara yang ekonominya lebih maju seperti Inggris, yang mana hanya 24 persen perusahaan yang masih dalam kondisi tertekan dalam kurun waktu tiga tahun dan 65 persen di antaranya telah kembali ke status semula. Menurut Managing Director and Country Head A&M Indonesia, Alessandro Gazzini (Alex), itu karena di Inggris, perusahaan mendapat dukungan kuat dari sisi legal dalam hal restrukturisasi.

"Meskipun tanda-tanda pemulihan pascapandemi sudah mulai terlihat, banyak perusahaan di Indonesia yang masih berjuang menghadapi tekanan yang cukup besar, dan banyak yang tidak siap untuk menghadapi tantangan di masa depan," katanya, Kamis (18/1) di Jakarta.

Akan tetapi, para emiten itu masih bisa bangkit. Sebab, A&M menilai, 44% dari emiten memiliki peluang besar untuk melakukan perbaikan. Dengan perincian: 19 persen membutuhkan peningkatan kinerja keuangan, 9 persen perlu mengatasi kinerja operasional, dan 14 persen membutuhkan perbaikan secara simultan di kedua area itu.

Adapun, laporan ADA menilai kinerja keuangan 360 emiten di Indonesia yang memiliki pendapatan tahunan lebih dari US$50 juta di 11 sektor industri. Indikator yang digunakan dalam indeks ADA adalah 17 indikator kinerja utama (KPI) untuk menilai ketahanan neraca keuangan dan pendapatan perusahaan, mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang sedang atau akan mengalami tekanan keuangan.

Penyebab emiten dalam posisi rapuh dan solusinya

Faktor utama yang menyebabkan tekanan, mencakup: neraca keuangan dan struktur modal yang melemah, bukan karena kinerja operasional yang terganggu. Terutama, 22 persen dari perusahaan yang mengalami tekanan pada tahun 2022 memiliki skor ketahanan neraca yang rendah tiga tahun sebelumnya. Tren itu diperparah oleh kondisi suku bunga yang tinggi saat ini, yang menimbulkan tantangan serius bagi perusahaan untuk mencari pembiayaan baru.

Berbagai hambatan dalam lanskap Indonesia berkontribusi terhadap tantangan ini, di antaranya: resistensi terhadap upaya perubahan operasional yang dipengaruhi oleh norma-norma budaya, masalah biaya, dan kompleksitas peraturan; keinginan pemegang saham untuk mempertahankan kendali, bahkan dalam situasi sulit; keengganan kreditur tertentu untuk menyetujui pengurangan atau pemotongan utang; dan kurangnya landasan hukum yang kuat untuk memfasilitasi proses restrukturisasi keuangan secara menyeluruh.

"Laporan ADA kami berperan sebagai pengingat, untuk mendorong adanya tindakan segera guna meningkatkan kinerja keuangan dan meningkatkan efisiensi operasional," kata Alex.

Analisis ADA mengidentifikasi adanya tekanan di seluruh sektor, terutama pada sektor Pertambangan Logam & Non-Batubara (25,0 persen), Ritel & Transportasi (20,8 persen), dan Infrastruktur & Konstruksi (20,0 persen) sebagai tiga sektor paling terpapar.

Alex menjelaskan, "Tingkat kesulitan di sektor tambang tumbuh 150 persen. Ini mengikuti siklus harga komoditas. Mereka memperluas neraca untuk berinvestasi di proyek penanaman modal, smelter, tapi harga komoditas global turun sehingga beberapa terdampak."

Sektor Barang Konsumsi dan Bahan Kimia & Material menunjukkan tren memburuk yang mengkhawatirkan dalam hal tekanan selama dua tahun terakhir. Sebaliknya, sektor Pertanian, Pertambangan Batu Bara dan Energi, Komunikasi dan TI, serta Kesehatan mencatat tingkat tekanan yang rendah dengan tren pemulihan yang signifikan.

Selanjutnya, perusahaan juga harus lebih bijaksana dalam menyeimbangkan antara pilihan pertumbuhan dan keuntungan. Pendekatan pertumbuhan dengan segala cara tidak lagi menjadi pilihan yang tepat.

Seiring dengan membaiknya perekonomian Indonesia, langkah-langkah penanganan COVID-19 yang diberikan oleh pemerintah akan dihapuskan secara bertahap, hal ini menandai dimulainya lanskap ekonomi pasca-COVID.

Faktor pendukung yang membantu mempertahankan keuntungan dalam lingkungan inflasi–seperti permintaan yang tertahan pascapandemi dan mekanisme biaya pass-through– secara bertahap berkurang untuk beberapa sektor. Hal ini menekankan pentingnya strategi bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk segera meningkatkan kesehatan keuangan dan keuntungan operasional dalam menghadapi situasi yang kompleks saat ini.

Related Topics