Volatilitas Pasar Naik, BEI Sesuaikan Batas ARB dan Trading Halt

Jakarta, FORTUNE - Bursa Efek Indonesia (BEI) menyesuaikan ketentuan batasan Auto Reject Bawah (ARB) dan penghentian sementara perdagangan (trading halt) dalam Peraturan II A. Perubahan efektif per Selasa (8/4).
Terkait ARB, BEI mengubah batasan persentase menjadi 15 persen bagi efek pada papan utama, papan pengembangan, dan papan ekonomi baru. Itu juga berlaku untuk ETF dan Dana Investasi Real Estat (DIRE) pada seluruh rentang harga.
“Penyesuaian persentase ARB dilakukan untuk menjaga volatilitas pasar dan memastikan perlindungan investor,” demikian keterangan Direktur Utama BEI, Iman Rachman kepada pers, Selasa pagi.
Dalam kebijakan auto rejection (AR) sebelumnya, ambang batas ARB bersifat asimetris berdasarkan rentang harga, yakni:
Rp50 – ≤ Rp200: 35 persen.
> Rp200 – ≤ Rp5.000: 25 persen.
> Rp5.000: 20 persen.
Lebih lanjut, perubahan ketetapan ihwal penghentian sementara perdagangan efek mencakup:
Trading halt selama 30 menit jika IHSG mengalami penurunan hingga lebih dari 8 persen (sebelumnya: 5 persen).
Trading halt selama 30 menit jika IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 15 persen (sebelumnya: 10 persen).
Trading suspend jika IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 20 persen (sebelumnya: 15 persen). Dengan ketentuan: (1) sampai akhir perdagangan; (2) lebih dari satu sesi perdagangan setelah mendapat persetujuan atau perintah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Adapun, penyesuaian dua ketentuan tersebut juga telah mengantongi dukungan OJK, sekaligus mempertimbangkan best practice pada bursa global, juga memperhatikan masukan dari para pelaku pasar.
Deputi Komisioner Pengawas Pengelolaan Investasi Pasar Modal dan Lembaga Efek OJK, I.B. Aditya Jayantara mengatakan penyesuaian trading haly bertujuan memberikan ruang bagi pemulihan harga (price recovery) dalam kondisi yang cukup fluktuatif. Adapun, sepanjang perdagangan 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah terkoreksi 8,20 persen. Pelemahan terdalam bahkan sempat mengakibatkan terjadinya trading halt pada perdagangan sesi I 18 Maret 2025.
“Dengan trading halt yang lebih fleksibel diharapkan dapat memberikan ruang bagi mekanisme penyesuaian harga yang lebih baik. Namun dengan tetap menjaga keteraturan, kewajaran, serta kenormalan saat terjadi lonjakan harga yang cukup tinggi,” kata Aditya.