Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Ancaman Pungutan Impor AS terhadap Indonesia Ternyata Lebih Kompleks

WhatsApp Image 2025-04-21 at 14.27.14.jpeg
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono saat media briefing terkait kebijakan tarif Amerika Serikat di Jakarta, Senin (21/4). (EKO Wahyudi/Fortune Indonesia).
Intinya sih...
  • Kemendag ungkap skema tarif AS lebih kompleks.
  • AS terapkan tiga lapis tarif: dasar baru, resiprokal, sektoral.
  • Tarif sektoral khusus untuk baja, aluminium, otomotif.

Jakarta, FORTUNE - Beban tarif impor yang diterapkan Amerika Serikat (AS) terhadap berbagai produk asal Indonesia ternyata jauh lebih rumit dan berlapis dari sekadar angka tunggal 32 persen yang kerap disebut sebagai tarif resiprokal. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menggarisbawahi adanya tiga skema pungutan yang mengintai ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam.

Hal ini dijelaskan langsung oleh Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono. Ia memerinci, tiga lapis tarif tersebut terdiri dari tarif dasar yang diperbarui, tarif resiprokal, dan tarif sektoral khusus.

"Besaran tarif dasar baru itu berbeda-beda tergantung jenis barang. Misalnya, ada yang sebelumnya tarifnya 0 persen, 5 persen, atau 10 persen, kini semuanya dinaikkan menjadi tambahan 10 persen," kata Djatmiko dalam acara konferensi pers di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin (21/4).

Dalam penjelasannya, dia mengatakan skema pungutan pertama yang diberlakukan AS adalah kenaikan tarif dasar 10 persen poin dari tarif yang berlaku sebelumnya.

Peningkatan tersebut diterapkan secara umum untuk beragam jenis produk dari seluruh negara, dengan pengecualian untuk Meksiko dan Kanada yang terikat perjanjian dagang khusus dengan AS di bawah payung United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA).

Sebagai gambaran, untuk produk tekstil dan pakaian seperti kaus, batik, atau bahan kain yang sebelumnya dikenai tarif 5 persen hingga 20 persen, kini rentangnya bertambah 10 persen menjadi 15 persen hingga 30 persen.

Di sisi lain, ada skema kedua berupa tarif resiprokal 32 persen. Pungutan ini dikenakan sebagai bentuk balasan terhadap kebijakan dagang spesifik dari negara mitra. Meski angka ini cukup tinggi, pemberlakuannya masih ditunda selama 90 hari ke depan, terhitung mulai 10 April 2025.

“Walaupun ditunda, kita perlu waspada. Bila tarif ini diterapkan nanti, maka misalnya untuk produk tekstil dan pakaian yang tarifnya awalnya 5 persen-20 persen, akan melonjak menjadi 37 persen-52 persen. Produk karet yang tadinya 2,5 persen-5 persen pun bisa naik menjadi 34,5 persen-37 persen,” ujarnya.

Sementara itu, skema pungutan impor ketiga adalah tarif sektoral. Tarif ini bersifat spesifik dan menyasar beberapa sektor industri strategis, yaitu baja, aluminium, otomotif, serta komponen otomotif.

Untuk komoditas-komoditas ini, besaran tarifnya ditetapkan 25 persen hingga 30 persen. Tarif sektoral ini berlaku menggantikan tarif dasar baru maupun tarif resiprokal untuk sektor-sektor yang disebutkan.

"Kalau Indonesia mengekspor baja, aluminium, atau otomotif ke AS, maka akan langsung dikenai tarif sektoral 25 persen. Dalam hal ini, tarif dasar baru dan tarif resiprokal tidak berlaku lagi, karena tarif sektoral sudah bersifat khusus," kata Djatmiko.

Perbandingan dengan negara lain

Djatmiko juga membandingkan perlakuan tarif ini dengan negara lain seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan India. Semua negara tersebut juga mengalami peningkatan tarif serupa dalam sektor-sektor tertentu. Misalnya, untuk baja dan aluminium yang semula dikenai tarif 0 persen-5 persen, kini melonjak menjadi 25 persen-30 persen.

Djatmiko menegaskan bahwa seluruh kebijakan tarif ini bersifat tambahan dari tarif awal yang sudah dikenakan oleh AS berdasarkan jenis barang dan klasifikasi HS (Harmonized System).

“Jadi, penting untuk dipahami bahwa ini bukan tarif tunggal, melainkan tambahan dari tarif dasar yang selama ini sudah ada,” ujarnya.

Kebijakan tarif berlapis dari AS ini tentu menjadi perhatian serius bagi pelaku usaha dan pemerintah. Selain meningkatkan biaya ekspor, hal ini juga berpotensi menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar AS.

Untuk itu, Kemendag menyatakan akan terus memantau dinamika kebijakan ini dan mengupayakan strategi negosiasi yang terbaik bagi kepentingan nasional.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us