Batu Bara Bakal Kenal Bea Keluar pada 2026

- Bea keluar batu bara ditujukan demi mengakhiri subsidi yang merugikan negara.
- Tarif bea keluar akan berkisar antara 1-5 persen per ton.
- Kebijakan ini juga diarahkan untuk menjawab tantangan global.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah akan mengoreksi skema perpajakan sektor batu bara secara besar-besaran karena dinilai merugikan negara. Mulai 2026, pemerintah berencana memberlakukan pungutan bea keluar batu bara sebagai langkah mengakhiri kondisi anomali saat ini ketika negara justru mensubsidi industri yang tengah menikmati keuntungan besar dari ekspor.
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menyinggung perubahan status batu bara menjadi barang kena pajak sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Alih-alih memperkuat penerimaan negara, kebijakan tersebut justru memicu lonjakan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dibayarkan pemerintah kepada perusahaan tambang.
“Dampaknya sangat besar. Negara harus mengembalikan sekitar Rp25 triliun setiap tahun,” kata Purbaya dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI yang disiarkan secara virtual, Senin (8/12).
Angka itu membuat pendapatan bersih negara dari sektor batu bara justru berbalik arah menjadi negatif. Padahal, pada saat yang sama, para pelaku usaha menikmati lonjakan keuntungan dari ekspor komoditas energi tersebut.
“Ini aneh. [Mereka] orang kaya semua. Ekspor yang untungnya banyak, saya subsidi kira-kira, secara enggak langsung,” ujarnya.
Untuk menutup kebocoran itu, pemerintah merancang kebijakan bea keluar batu bara sebagai instrumen penyeimbang. Purbaya menekankan, filosofi utama pungutan ini adalah mengembalikan struktur penerimaan negara dari sektor batu bara seperti sebelum 2020, sekaligus menghentikan praktik subsidi terselubung kepada eksportir.
“Mereka sudah untung banyak, masa saya kasih subsidi juga,” katanya.
Usai rapat, Purbaya menjelaskan tarif bea keluar yang dikenakan kepada komoditas batu bara akan berkisar 1-5 persen per ton. Dari skema ini, pemerintah menargetkan tambahan penerimaan negara sekitar Rp20 triliun per tahun.
Tak hanya soal fiskal, kebijakan ini juga diarahkan untuk menjawab tantangan global. Purbaya menegaskan, tren transisi energi dunia makin kuat menekan peran batu bara. Banyak negara mulai mengarahkan pemanfaatan batu bara ke produk bernilai tambah tinggi melalui teknologi lebih maju.
Di sisi lain, Indonesia masih tercatat sebagai produsen batu bara terbesar ketiga di dunia. Ironisnya, sebagian besar produksi nasional masih diekspor dalam bentuk mentah dengan nilai tambah rendah.
“Karena itu, untuk mendorong hilirisasi sekaligus dekarbonisasi batu bara,” ujarnya.
Saat ini, kebijakan bea keluar batu bara masih dibahas lintas kementerian dan lembaga. Pembahasan mencakup mekanisme pemeriksaan, pengawasan, hingga desain kebijakan agar benar-benar berdampak pada peningkatan penerimaan negara.
“Kebijakan bea keluar batu bara masih dalam proses pembahasan dengan kementerian atau lembaga terkait, termasuk tentang mekanisme pemeriksaan atau pengawasan,” kata Purbaya.


















