Riset: Polusi Udara Indonesia Paling Tinggi di Asia Tenggara
Kualitas udara di Jabodetabek belum membaik.
Jakarta, FORTUNE - IQAir, perusahaan teknologi kualitas udara berbasis di Swiss mengumumkan laporan terbaru mengenai kualitas udara dunia 2021. Hasilnya, Indonesia menempati peringkat ke-17 negara paling berpolusi di dunia.
“Indonesia menempati peringkat ke-17 negara-negara dunia dengan konsentrasi PM 2,5 tertinggi yakni 34,3 μg/m3,” ujar Chief Executive Officer (CEO) IQAir, Frank Hammes, dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (29/3).
Posisi ini, kata dia, menjadikan Indonesia sebagai negara nomor satu paling berpolusi udara di Asia Tenggara. Adapun lima negara paling tercemar pada tahun 2021 adalah Bangladesh, Chad, Pakistan, Tajikistan, dan India.
Polusi partikel halus PM 2,5 menimbulkan risiko kesehatan
Laporan Kualitas Udara Dunia 2021 IQAir adalah laporan kualitas udara global utama pertama yang berbasis dari Pedoman Kualitas Udara WHO untuk PM 2,5 tahunan yang diperbarui. Pedoman baru dari WHO memotong nilai pedoman PM 2,5 tahunan dari 10 μg/m3 menjadi 5 μg/m3.
Particulate Matter (PM) 2,5 adalah partikel halus di udara yang ukurannya 2,5 mikron atau lebih kecil. Dalam jumlah tinggi, PM 2,5 dapat mengurangi jarak pandang dan terlihat agak berkabut.
“Polusi partikel halus PM 2,5, umumnya diterima sebagai polutan paling berbahaya. Pantauan secara luas, polutan udara ini telah ditemukan menjadi faktor utama yang berkontribusi terhadap efek kesehatan manusia seperti asma, stroke, penyakit jantung dan paru-paru. PM 2,5 juga menyebabkan jutaan kematian dini setiap tahun,” ujarnya.
Kualitas udara Jabodetabek pada 2021 belum membaik
Sementara itu, hasil riset Nafas, startup penyedia aplikasi pengukur kualitas udara, sepanjang Januari-Desember 2021 mengungkapkan kualitas udara di Jabodetabek pada 2021 belum membaik. Nafas memasang tiga sensor pengukur kualitas udara di tiga lokasi, yakni Bumi Serpong Damai (BSD), Cibinong dan Sentul City. Ketiga daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang (Jabodetabek) tersebut merupakan area yang dikelilingi oleh daerah hijau.
Namun, data Nafas menunjukkan indeks kualitas udara (AQI) di ketiga wilayah tersebut cukup tinggi di atas 100. Angka AQI di atas 100 menunjukkan kualitas udara relatif tidak sehat bagi kelompok usia tertentu.
“Itu menunjukkan ketiga daerah tersebut tidak bebas dari polusi,” kata Co-founder & Chief Growth Officer Nafas, Piotr Jakubowski dalam Media Briefing bertajuk “Nafas Air Quality Report 2021” yang diselenggarakan Nafas, Bicara Udara dan Katadata Insight Center, dikutip Selasa (29/3).
Piotr mengatakan, banyaknya pepohonan sebenarnya kurang berdampak membuat udara menjadi bersih dan segar. Sebab pada dasarnya daun-daun di pohon tak bisa menyerap debu. Daun hanya mampu menyerap gas, sehingga tak bisa secara signifikan membersihkan debu PM2,5 yang ada di udara.
“Jadi, pepohonan tidak bisa memfilter polusi PM 2.5,” ujar dia.
Piotr merujuk studi David J. Nowak et.al (2013). Hasil studi Nowak, kata dia, menunjukkan, penanaman pohon di 10 kota Amerika Serikat dengan tingkat PM 2.5 yang tinggi tidak signifikan mengurangi polusi PM2.5, yakni hanya sebesar 0,05-0,24 persen setahun. Berdasarkan data Nafas tersebut, kata Piotr, keliru apabila kebijakan pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia memperbaiki kualitas udara hanya dengan cara menanam banyak pepohonan.
Di masyarakat Jabodebek terjadi mispersepsi bahwa udara pagi lebih baik dibanding waktu lain. Mungkin karena dianggap udara masih terasa sejuk, kondisi lalu lintas masih sepi, dan minim polusi udara. Tak mengherankan bila animo masyarakat berolah raga besar pada pagi hari (sekitar jam 05.00-09.00), termasuk saat pandemi Covid-19.
Padahal berdasarkan hasil riset Nafas sepanjang 2021 menunjukkan, AQI Jabotabek pada pagi hari antara jam 04.00-09.00 WIB masih cukup tinggi sekitar 100-160, yang menunjukkan kualitas udara relatif tidak baik. Ini artinya, pagi hari bukan waktu terbaik untuk berolahraga. Justru saat itu masyarakat di Jabotabek disarankan tidak melakukan aktivitas di luar rumah.
Menurut Prabu Setyaji, Data Scientist dari Nafas, bagi seseorang yang berumur antara 35-45 tahun yang berolahraga pada pagi hari saat kadar PM2.5 > 26 µ/m3 justru berbahaya karena berisiko menimbulkan penyakit jantung. Sebagai catatan, ambang batas aman menurut WHO (2021) adalah PM2.5 = 5 µ/m3.
“Bisa meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 33 persen,” ujarnya seraya menyebutkan bahwa kualitas udara paling baik di Jabotabek terjadi pada jam 14.00 WIB. Kualitas udara pun semakin membaik ketika terjadi hujan besar yang disertai angin kencang hingga ekstrem.