Jakarta, FORTUNE - Memasuki 2026, perekonomian Indonesia diprediksi tetap berada di jalur stabil, tapi tanpa lonjakan pertumbuhan signifikan. Kondisi ini menjadi sinyal penting bagi pelaku usaha untuk menggeser fokus dari ekspansi agresif menuju penguatan fundamental internal lebih terukur dan efisien.
Ekonom sekaligus pengajar di Universitas Indonesia, Ibrahim Rohman, menilai pertumbuhan ekonomi nasional masih akan bertahan pada kisaran 5 persen. Meski konsumsi domestik tetap menjadi pilar penyangga utama, ketidakpastian dari sektor eksternal diperkirakan akan menambah volatilitas pasar sepanjang tahun tersebut.
“Indonesia berada dalam kondisi pertumbuhan yang relatif aman di sekitar 5 persen, kecuali terjadi perbaikan struktural pada produktivitas,” ujar Ibrahim dalam keterangannya, Senin (29/12).
Ibrahim memberikan catatan kritis bahwa tanpa reformasi produktivitas yang nyata, berbagai stimulus fiskal maupun tambahan investasi hanya akan memperbesar skala ekonomi tanpa meningkatkan kualitas pertumbuhan itu sendiri.
Ia memperingatkan penambahan modal yang tidak dibarengi efisiensi justru berisiko menurunkan daya saing perusahaan di pasar global.
“Tanpa reformasi produktivitas, tambahan investasi dan belanja fiskal lebih banyak memperbesar skala ekonomi, bukan kualitas pertumbuhan,” ujarnya.
Dalam menghadapi situasi ini, dunia usaha dituntut lebih cermat dalam mengambil keputusan strategis. Ibrahim menyarankan agar pelaku bisnis memprioritaskan disiplin biaya dan pengelolaan arus kas yang sehat.
Menurutnya, pemanfaatan teknologi seperti digitalisasi dan otomasi proses bisnis bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk bertahan.
“Fokus utama sebaiknya diarahkan pada penguatan skala usaha yang sehat, disiplin biaya, serta pengelolaan arus kas yang stabil, bukan ekspansi agresif dengan risiko tinggi,” katanya.
Tantangan bagi pelaku usaha pada 2026 tidak hanya datang dari sisi makro, tetapi juga dari transformasi sistem regulasi. Managing Partner Tax RSM Indonesia, Ichwan Sukardi, memaparkan bahwa 2026 akan menjadi fase menentukan seiring implementasi penuh sistem Coretax di tingkat nasional.
Sistem tersebut akan membawa perubahan besar dalam interaksi antara wajib pajak dan otoritas melalui transparansi yang lebih tinggi dan penggunaan data prepopulated dalam pengisian SPT. Hal ini menandakan bahwa kepatuhan pajak ke depan akan sepenuhnya berbasis data dan terintegrasi dengan sistem Compliance Risk Management.
“Coretax pada dasarnya mengubah cara wajib pajak berinteraksi dengan sistem perpajakan. Kepatuhan kini sepenuhnya berbasis data, sehingga kesiapan administrasi menjadi sangat krusial,” kata Ichwan.
Ichwan menjelaskan arah kebijakan perpajakan pada 2026 akan makin sistematis. Pemerintah akan memperkuat penegakan hukum melalui pemeriksaan berbasis teknologi dan analisis data intelijen.
Pada saat bersamaan, pemerintah tetap menyiapkan insentif pajak lebih terarah untuk mendukung sektor investasi strategis, ekonomi hijau, dan pembangunan infrastruktur guna menjaga daya beli masyarakat.
Sebagai kesimpulan, Ichwan menekankan bahwa kombinasi kebijakan ini menuntut wajib pajak memperkuat tata kelola internal. Kepatuhan perpajakan harus dipandang sebagai bagian integral dari strategi bisnis jangka menengah untuk memitigasi risiko di tengah sistem pengawasan yang semakin ketat dan terintegrasi.
