NEWS

Boikot Bayar KPR Merebak di Cina, Ada Apa?

Cina berkompromi soal utang pengembang demi redam boikot.

Boikot Bayar KPR Merebak di Cina, Ada Apa?Shutterstock/hxdbzxy
18 July 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Tiongkok tengah menghadapi aksi boikot pembayaran kredit pemilikan rumah (KPR) akibat banyaknya proyek properti yang tak kunjung rampung dan diserahkan ke konsumen. Mengutip Fortune.com, ada lebih dari 100 proyek di 50 kota di Tiongkok—dengan ribuan pembeli—yang menghadapi boikot pembayaran hipotek. 

Dalam beberapa bulan terakhir, jumlah proyek properti yang mandek di tengah jalan memang meningkat lantaran pengembang kesulitan mendapat uang tunai. Musababnya adalah tindakan keras Beijing terhadap sektor properti pada Agustus 2020. 

Kala itu, pemerintah Tiongkok memperkenalkan kebijakan tiga garis merah untuk menekan sektor properti negara tersebut, membatasi jumlah utang yang boleh diambil oleh pengembang perumahan, serta menjadikan rumah Cina "untuk ditinggali, bukan untuk spekulasi."

Kebijakan tersebut terbukti gagal pertama kalinya ketika krisis keuangan mengancam Evergrande—baron properti yang telah menumpuk utang lebih dari US$300 miliar selama bertahun-tahun untuk membangun apartemen spekulatif dan proyek sampingan seperti tim sepak bola Cina.

Tak lama setelah beleid itu dirilis, kapitalisasi pasar Evergrande anjlok menjadi U$3 miliar dari US$36 miliar pada Agustus 2020. Krisis yang menerpa Evergrande pula yang menjadi momentum Beijing untuk mengukur tindakan keras mereka terhadap utang pengembang.

Sekarang, pemerintah Cina menunjukkan bahwa pemenuhan tiga garis merah mungkin tidak sepenting prioritas lainnya.

Memang, memperpanjang lebih banyak pinjaman kepada pengembang dapat memperburuk masalah utang bagi pengembang. Tetapi, untuk saat ini, memadamkan boikot hipotek dan mengatasi kesengsaraan ekonomi negara tampaknya menjadi prioritas.

Kompromi dengan utang pengembang

Pekan lalu, Cina mengumumkan perekonomiannya tumbuh 0,4 persen pada kuartal kedua. Kinerja tersebut lemah dan mengancam upaya Cina untuk pulih dari pandemi. 

Larry Hu, kepala ekonom Cina di Macquarie, menulis dalam sebuah catatan yang dikirim ke Fortune bahwa sektor properti Cina "tetap menjadi hambatan terbesar" pada pertumbuhan ekonominya.

“Data terbaru tentang makro dan sektor properti serta tekanan pembayaran obligasi pada pengembang Cina di [paruh kedua] 2022 menunjukkan lebih banyak urgensi untuk tetap pada sikap pelonggaran dan membantu dalam menyelesaikan proyek properti tepat waktu,” kata Pang. "Kebijakan tiga garis merah diperkirakan akan mengalami beberapa penyesuaian."

Terbukti, pada Minggu (17/7) pemerintah akhirnya mendorong bank untuk memberikan lebih banyak pinjaman kepada pengembang agar mereka dapat menyelesaikan proyek lebih cepat dan melakukan serah-terima kepada konsumen.

Langkah anyar Beijing tersebut diharapkan dapat segera menolong pengembang menyelesaikan proyek perumahan dan meraih kembali kepercayaan konsumen sehingga mereka mau memenuhi pembayaran hipotek.

"Setiap kebijakan yang dapat membantu mengatasi penolakan risiko, mengekang krisis kepercayaan, dan memastikan pengiriman rumah di tengah boikot hipotek akan dipertimbangkan dan disambut baik," kata Bruce Pang, kepala penelitian untuk Tiongkok Raya di perusahaan real estat komersial JLL.

Kini, setelah mendorong bank untuk memberikan lebih banyak pinjaman kepada pengembang, pemerintah Cina harus berhadapan dengan ancaman selanjutnya: makin banyaknya perusahaan properti yang berkubang dalam utang serta meningkatnya ancaman krisis sistemik akibat sektor properti—sesuatu yang selama ini coba dikendalikan.

Related Topics