NEWS

Kerugian Indonesia Akibat Perubahan Iklim Bisa Capai 3,45% PDB

Pemerintah siapkan kebijakan mitigasi perubahan iklim.

Kerugian Indonesia Akibat Perubahan Iklim Bisa Capai 3,45% PDBktivis melakukan aksi di Dukuh Atas, Jakarta, Minggu (26/9). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
30 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan nilai kerugian ekonomi yang akan ditanggung masyarakat Indonesia perubahan iklim mencapai sekitar 0,66 persen hingga 3,45 persen produk domestik bruto (PDB).

Pasalnya, Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap bencana ekologis akibat perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, dan hujan badai.

"Potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66 persen sampai 3,45 persen dari PDB pada 2030," ujar Febrio dalam diskusi bersama media, Senin (29/11).

Estimasi itu juga lebih besar dari proyeksi USAID pada 2016, yang memprediksi kerugian yang akan ditanggung oleh masyarakat Indonesia pada 2050 akibat bencana ekologis mencapai Rp132 triliun atau setara dengan 1,4 persen dari nilai PDB Indonesia saat itu.

Lantaran hal tersebut, menurut Febrio, diperlukan berbagai kebijakan agar dampak perubahan iklim bisa segera dimitigasi. Meski demikia hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. BKF memprediksi biaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia hingga 2030 bisa mencapai Rp3.779,63 triliun. Ini berasal dari pendekatan biaya aksi mitigasi di berbagai sektor yang mencapai Rp343,6 triliun per tahun. 

Biaya lainnya juga dibutuhkan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 seperti tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). 

Kebutuhan biaya terbesar berasal dari sektor energi dan transportasi mencapai Rp3.500 triliun. Diikuti limbah sekitar Rp181,4 triliun, kehutanan Rp93,28 triliun, pertanian Rp4,04 triliun, dan IPPU Rp920 miliar.

"Diperlukan kebijakan untuk memastikan kebutuhan pendanaan dapat terpenuhi," jelasnya.

Instrumen Pembiayaan dan Kebijakan

Febrio melanjutkan, saat ini pemerintah telah memiliki beberapa pemetaan kebijakan untuk menutup estimasi kebutuhan biaya mitigasi perubahan iklim tersebut. Melalui APBN, misalnya, pemerintah memberikan insentif pajak agar swasta berinvestasi dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan kendaraan listrik.

Cara lainnya adalah menggelontorkan anggaran ke kementerian/lembaga agar mereka turut melakukan mitigasi risiko iklim di sektor masing-masing.

Selanjutnya, berupa transfer ke daerah misalnya melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik, DAK non-fisik, dana insentif daerah (DID), dana desa, hingga transfer fiskal berbasis ekologi. 

"TKDD ini untuk mendukung dan mendorong peningkatan peran daerah dalam upaya penanganan perubahan iklim di daerah," imbuh dia.

Di luar itu, pemerintah juga mengeluarkan berbagai instrumen pembiayaan inovatif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Ini dapat berbentuk instrumen derisiking atau mengurangi risiko investasi dalam pembiayaan proyek berkelanjutan agar investor dan lembaga pembiayaan lebih tertarik.

Sementara instrumen kebijakan yang telah disiapkan adalah implementasi pajak karbon serta nilai ekonomi karbon yang dasar hukumnya telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). 

Nantinya, pemerintah juga akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Peta Jalan Pajak Karbon serta PP tentang Subjek dan Alokasi Pajak Karbon.

Lalu, pemerintah juga akan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tarif dan DPP Pajak Karbon serta PMK tentang Tata Cara dan Mekanisme Pengenaan Pajak Karbon. Empat aturan ini tengah disusun.

Related Topics