NEWS

Menadah Berkah Karbon di Perhutanan Sosial

Pengelola perhutanan sosial bersiap masuk ke pasar karbon.

Menadah Berkah Karbon di Perhutanan SosialSungai Citamiang di Tugu Utara. (Dok. LMDH Puncak Lestari)
10 February 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Leuweung héjo, rakyat ngéjo. Begitu Dedi Kusnadi, 45 tahun, punya prinsip. Slogan berbahasa Sunda itu—yang secara sederhana berarti ‘hutan lestari membawa rezeki’—mewujud pada caranya memperlakukan pohon sebagai penyangga hidup. “Satu pohon ini,” katanya sembari menunjuk pokok damar yang menjulang, “bisa ngasih penghidupan buat tiga orang.”

Saya bertemu Dedi di muka penginapan Wonderful Citamiang, Cisarua, Kabupaten Bogor pada pekan pertama Januari 2022. Berbeda dengan bungalo dan sanggraloka lain di kawasan Puncak, bangunan di tempat itu dirancang mengikuti lanskap hutan tanpa melakukan penebangan. 

Pepohonan keras seperti pinus, damar dan rasamala masih tegak sejak warga Desa Tugu Utara menanamnya 25 tahun silam. Tanaman-tanaman itu juga serupa benteng yang melindungi kawasan dari longsor. Akarnya kuat mengikat tebing-tebing yang disapu air hujan dari area lebih tinggi.

Dedi warga asli Tugu Utara dan menjabat Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Puncak Lestari. Organisasi itu terbentuk pada 2008 setelah Perhutani memulai Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), dan bertujuan memaksimalkan peran kelompok masyarakat di area konsesi hutan tanaman industri milik perusahaan. 

Pada 2018, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (SK KuLin-KK) untuk 610,64 hektare lahan Desa Tugu Utara. Dus,  Tugu Utara beroleh legalitas sebagai kawasan perhutanan sosial–program yang digalakkan pemerintah untuk mengatasi konflik di areal konsesi.

Bagi Dedi dan pengurus LMDH lainnya, SK KuLin-KK adalah tonggak penting. Sebab, eksistensi masyarakat yang mengelola area di kawasan hutan diakui dan dilindungi oleh negara. Dalam skema PHBM, masyarakat desa hanya “diikutsertakan”, sementara aktor utamanya adalah Perhutani. Kini, masyarakat menjadi pelaku utama dan lebih leluasa menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Wonderful Citamiang, yang dibangun sejak 2019, merupakan contoh nyata. Ia berdiri dengan investasi dari Andra Consulting.

Sejak SK dirilis, keterlibatan masyarakat dalam memanfaatkan potensi hutan pelan-pelan juga meningkat. Bahkan warga bekerja sebagai buruh di perkebunan teh pun turut mencari tambahan penghasilan. Mereka memperoleh gaji dan upah dari pengelolaan ekowisata, serta keuntungan dari penjualan hasil pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLBT). Setiap anggota LMDH memperoleh garapan 1-3 ha per KK yang diusahakan budidaya tanaman kopi, buah-buahan (alpukat, nangka), tanaman pangan, hijauan pakan ternak, atau budidaya lebah madu.

Kondisi barusan sulit ditemukan pada 1990-an. Pada dasawarsa itu, kata Dedi, banyak pemuda Desa Tugu Utara lebih kepincut bekerja di kota. Termasuk dia, yang sempat merantau ke Jakarta pada 1995 dan menjajal rupa-rupa pekerjaan sebelum akhirnya pulang dua tahun berselang. Dedi menghindari ‘rabun dekat’. Dia sadar potensi ekonomi desanya, terutama dari hutan, ternyata besar. 

“Banyak yang mengembangkan tempat ini, orang dari mana-mana datang. Masyarakat sekitar harusnya bisa lah kelola. Saya punya cita-cita di sini. Jadi, kami gali potensi hutan,” katanya, mengisahkan kembali alasannya hengkang dari Jakarta. “Sekarang hutan enggak lagi dipandang sebelah mata.”

Menjajal pasar karbon

Puncak Rimba, salah satu usaha ekowisata di Tugu Utara. (Dok LMDH Puncak Lestari)

Pun begitu, LMDH dan masyarakat Tugu Utara tak hanya memanfaatkan potensi hutan sekitar. Mereka juga rutin melakukan penghijauan di kawasan puncak untuk mengimbangi alih fungsi lahan hutan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Pada 2019, LMDH mengambil langkah strategis dengan merintis usaha jasa lingkungan di bidang penyimpanan dan penyerapan karbon. Program itu tertuang dalam rencana kerja periode 2020-2029, berdampingan dengan ekowisata dan jasa tata air yang telah lebih dulu berjalan. 

Ide menjual karbon datang setelah Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang program pengelolaan hutan lestari di Tugu Utara pada 2016. Waktu itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gaia Indonesia, yang didapuk sebagai pendamping desa, memberikan sesi pelatihan soal perdagangan karbon kepada anggota LMDH.

Dua tahun kemudian, sejumlah pengurus LMDH Puncak Lestari melakukan studi banding ke hutan adat Aik Bual, Lombok Tengah, dan melihat sendiri keuntungan dari pembayaran imbal jasa lingkungan (payment for ecosystem services/PES) penyerapan karbon atau sekuestrasi. “Kami mau coba karena di sana mereka penghasilannya lumayan besar,” ujarnya.

Saat ini, ada sekitar 100 hektare lahan hutan yang siap dijadikan proyek kredit karbon. Letaknya di Gunung Kencana, 1.080 meter di atas permukaan laut (MDPL)—kawasan tertinggi di Tugu Utara. Lahan itu sudah bisa disertifikasi karena LMDH memiliki data lengkap tiap pohon yang ditanam pada penghijauan 2019.

"Tahun lalu orang dari Bappenas ke Gunung Kencana. Setelah lihat, dia tanya, ‘ini mau dijual enggak karbonnya’," kata Dedi menyebut sebuah tawaran yang pernah datang ke LMDH. "Sampai sekarang kami masih proses persiapan dulu. Arahnya akan ke sana pasti, tapi butuh banyak pelatihan dan pendampingan juga."

Penyimpanan dan penyerapan karbon memang bisa jadi strategi jitu dan menguntungkan untuk mengelola perhutanan sosial. Tugu Utara punya potensi itu. Pasalnya, masih banyak wilayah yang dapat dijadikan proyek penyerapan karbon melalui penanaman kembali atau restorasi. Tugu Utara juga menyimpan hutan lindung dengan total luas lahan 200 hektare. Setelah proses sertifikasi, keduanya dapat dijual sebagai kredit karbon.

Potensi bisnis ini juga berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), yang merupakan turunan dari ratifikasi Perjanjian Paris, pemerintah berkomitmen memangkas emisi GRK hingga 29 persen pada 2030. Dengan bantuan internasional, janji itu melonjak menjadi 41 persen.

Pada November 2021, melalui Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, pemerintah mengatur skema perdagangan karbon sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim. Beleid tersebut juga menjadi pintu masuk bagi penerapan pasar karbon wajib di dalam negeri. Sebab, emisi tahunan yang dihasilkan dari kegiatan masyarakat atau dunia usaha akan sesuai dengan peta jalan pencapaian NDC.

Jika emisi yang dihasilkan melebihi batas, para pihak tersebut wajib membeli kredit karbon atau melakukan offsetting untuk “menyerap” kelebihan GRK yang mereka lepas. Artinya, permintaan kredit karbon akan meningkat padatahun-tahun mendatang.

Meski begitu, perdagangan karbon tidak bisa diterapkan pada semua kawasan perhutanan sosial. Beberapa wilayah perhutanan sosial berstatus hutan produksi dan hanya bisa dimanfaatkan untuk usaha seperti ekowisata atau agroforestri. Kulin-KK di wilayah konsesi PT Surya Hutani Jaya, Kalimantan Timur, bisa jadi misal. 

Di sana, perhutanan sosial dikelola masyarakat Desa Menamang Kiri melalui penanaman karet, Eucalyptus pellita, kelapa sawit, atau tanaman lainnya. Praktiknya berbeda dari wilayah Tugu Utara yang berstatus hutan produksi fungsi lindung.

Di sisi lain, pelaku perhutanan sosial di Tugu Utara dicegat kendala teknis. Taufiqurohman, sekretaris LMDH Puncak Lestari, mengatakan persoalan utama mereka adalah kurangnya pengetahuan dan biaya sertifikasi proyek kredit karbon yang relatif mahal. Praktis, yang bisa dilakukan LMDH saat ini adalah memetakan kawasan dan mencari investor yang mau diajak berkolaborasi. 

“Selain pemetaan partisipatif, ada juga pemberdayaan masyarakat dan penanaman. Setelah itu semua, tahap terakhir barulah sertifikasi di kawasan yang bisa kami intervensi untuk perdagangan karbon,” ujarnya.

Celah bagi investor

Perhutani dan LMDH Puncak Lestari di area hutan Desa Tugu Utara. (Dok. LMDH Puncak Lestari)

Related Topics