NEWS

Pemerintah Lanjutkan Pembahasan BLU Batu Bara untuk Amankan Pasokan

DPR minta DMO batu bara tak hanya terkait volume.

Pemerintah Lanjutkan Pembahasan BLU Batu Bara untuk Amankan PasokanKapal tongkang batu bara melintas di kali CBL, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Selasa (9/11/2021). KemenESDM mencatat harga batu bara acuan menyentuh angka US$215,01 atau naik 33 persen dibanding bulan sebelumnya. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/hp.
21 March 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Pemerintah masih terus membahas pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) untuk menjamin pasokan batu bara dalam negeri (Domestic Market Oblogation/DMO) di tengah tren peningkatan harga di pasar internasional.

Termasuk, mempertimbangkan masukan dari Komisi VII dalam rapat dengar pendapat bersama Menteri ESDM 17 Februari lalu agar DMO perusahaan batu bara nantinya tak lagi hanya berdasarkan volume produksi tetapi juga revenue perusahaan, serta agar pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri tak hanya dikhusukan untuk PLN melainkan seluruh industri yang membutuhkan.

Terkait hal ini, Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sianida mengatakan masih menunggu skema terbaik yang tengah disiapkan pemerintah. Yang jelas, kata dia, pengusaha berharap skema yang akan diluncurkan nantinya tetap menjamin persaingan usaha yang sehat dan adil di dalam negeri.

"Dua minggu lalu ada rapat dengan pemerintah membahas skema pembentukan BLU yang dipimpin oleh Kemenko Marves. Kami mendukung sepenuhnya skema terbaik (termasuk skema pungutan) yang akan diambil oleh pemeirintah yang dapat memberikan level playing field yang adil bagi semua penambang dan PLN tidak dirugikan," ujarnya kepada Fortune, Senin (21/3).

BLU yang tengah dibahas tersebut merupakan bagian dari skema baru tata kelola batu bara untuk pembangkit listrik PT PLN (Persero). Tujuannya untuk menghindari kelangkaan pasokan yang berisiko menyebabkan krisis listrik di tanah air.

Skema itu, dalam paparan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marinvest) yang diterima Fortune Indonesia, juga akan mengatur kewajiban perusahaan batu bara untuk mengalokasikan produksinya ke PLN. 

Nantinya, PLN akan mengikat kontrak jual-beli selama setahun dengan beberapa perusahaan batu bara yang memiliki spesifikasi produk sesuai dengan kebutuhan pembangkit PLN, berkalori 4.050-6.485 kcal/kg. Sementara perusahaan batu bara dalam negeri yang tak memiliki spesifikasi produk tersebut dan tak bisa berkontrak dengan PLN akan dikenakan sanksi sesuai Keputusan Menteri ESDM nomor 139.K/HK.02/MEM. B/2021.

Nilai harga kontrak antara PLN dan perusahaan akan disesuaikan per tiga atau enam bulan sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Namun, harga yang akan dibayar PLN tetap mengacu pada ketentuan DMO yakni US$70 per ton, sementara selisihnya akan ditanggung oleh BLU yang akan terbentuk.

Misalnya, jika harga pasar batu bara dengan kalori 4.700 kcal/kg ditetapkan sebesar US$162 per ton dalam kontrak jual beli, BLU akan menambah kekurangan pembayaran sebesar US$8 dolar untuk tiap ton batu bara yang dipasok ke PLN.Meski demikian, besarnya pungutan iuran ekspor yang akan ditetapkan ke perusahaan batu bara belum ditentukan hingga saat ini.

Usulan Komisi VII DPR

Meski demikian, Komisi VII DPR RI menolak skema pembentukan BLU untuk menjamin pasokan batu bara dalam negeri dan mengusulkan dibentuknya entitas khusus yang menaungi perusahaan batu bara dengan kemampuan pemenuhan DMO yang baik.

Skema ini sebenarnya mirip dengan usulan pemerintah di mana nantinya harga batu bara yang dibeli untuk DMO akan dilepas ke mekanisme pasar, sedangkan entitas khusus nantinya tetap akan menjual batu bara ke PLN dengan harga yang sudah dipatok, yakni US$70 per ton. Selisih dari harga antara batu bara yang dijual ke PLN dengan harga di pasar internasional akan ditutup dengan iuran dari perusahaan-perusahaan batu bara yang ada di Indonesia.

Bedanya, kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurahman, tidak semua perusahaan diwajibkan memasok batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik. Ini lantaran tak semua perusahaan bisa memenuhi spesifikasi batu bara PLN. Bagi perusahaan lain yang tak bisa memasok batu bara untuk pembangkit listrik, mereka tetap memiliki jatah DMO untuk kepentingan seluruh industri dalam negeri yang membutuhkan batu bara.

"Jadi ditetapkan siapa saja perusahaan yang menyuplai, dan ditetapkan saja oleh pemerintah perusahaan mana yang menjadi tugas menyuplai kepada PLN sesuai kebutuhan PLN. Lalu selisih harga antara perusahaan dengan harga patokan ditutupi melalui iuran. Silahkan formulasinya ditetapkan," tutur Maman.

Selain itu DMO yang nantinya diterapkan tak hanya menyangkut volume tonase melainkan juga revenue atau pendapatan perusahaan batu bara di Indonesia. Dengan demikian, tak ada lagi perusahaan yang mengelak dari kewajibannya dengan alsan spesifikasi batu bara yang tak sesuai dengan kebutuhan dalam negeri.

"Menurut kami kalau DMO diredefinisi menjadi aspek volume dan revenue selesai, jadi tidak ada alasan bagi seluruh perusahaan untuk tidak memenuhi DMO. Kalau ini bisa terjadi, permasalahan PLN mengenai kebutuhan batu baranya juga bisa diselesaikan," jelasnya.

Menanggapi hal ini, Menteri ESDM Arifin Tasrif menuturkan bahwa tata kelola BLU yang diusulkan pemerintah masih terus dimatangkan dengan mempertimbangkan masukan dari pada produsen batu bara dalam negeri. Terkait dengan masukan Komisi VII, ia sepakat agar DMO tak hanya diarahkan untuk kebutuhan pembangkit listrik melainkan juga industri lain yang membutuhkan.

"Kami sepakat ini akan ada kesulitan dari PLN terutama dalam menyediakan modal kerja yang juga mempunyai cost. Tapi kalau usulan untuk seluruh industri, dilakukan DMO per perusahaan kemudian per harga, dan selanjutnya dikompensasi berupa iuran gotong royong ini juga hal bagus dan kemudian akan kami angkat dalam rapat koordinasi yang melibatkan juga kementerian lain termasuk juga keuangan," tandasnya.

Related Topics