NEWS

Petani Sawit Sebut UU Cipta Kerja Hambat Usaha Dapat Sertifikat ISPO

Petani harus membayar denda untuk bisa ISPO.

Petani Sawit Sebut UU Cipta Kerja Hambat Usaha Dapat Sertifikat ISPOWikimedia Commons
22 September 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, mengatakan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi salah satu hambatan bagi petani untuk memperoleh sertifikat sawit berkelanjutan (ISPO). 

Sebab, dalam dalam Pasal 110 B beleid tersebut, petani diwajibkan membayar denda administratif dalam penyelesaian konflik perkebunan dalam kawasan hutan.

Hal ini memberatkan lantaran tarif denda minimal yang harus dibayarkan juga tidak murah. Untuk luas lahan 5 hektare dengan umur tanam 12 tahun dan pendapatan bersih Rp15 juta per tahun, misalnya, petani harus merogoh kocek hingga Rp180 juta. 

Perhitungan Denda

Denda tersebut dihitung berdasarkan luas pelanggaran (kawasan kebun dalam hutan) dikali jangka waktu dan tarif denda. Sementara tarif ditentukan berdasarkan pendapatan pendapatan bersih tahunan dikali persentase tutupan hutan, yakni 20 persen untuk tutupan rendah, 40 persen sedang, dan 60 persen tinggi.

"Karena ISPO adalah kepatuhan hukum. Kalau dia tidak menyelesaikan masalah denda yang ada di UU Cipta Kerja, tidak bisa dia ISPO. Dengan denda minimum (tutupan 20 persen) saya baru bisa ISPO setelah bayar Rp180 juta," ujarnya dalam Webinar "Refleksi 10 Tahun ISPO: Percepatan Sawit Indonesia Berkelanjutan", Rabu (22/9).

Terlebih, jangka waktu pembayaran denda minimal atau koefisien tarif rendah telah berakhir sejak 2 Agustus 2021.  "Kami harus diperhatikan negara karena tidak bisa kami dipaksa bayar denda ini," imbuh Gulat.

Ihwal Legalitas Lahan

Selain soal denda, UU Cipta Kerja juga dianggap memberatkan sebab persoalan legalitas dan status kepemilikan lahan juga jadi syarat untuk mendapatkan sertifikat ISPO. 

Dalam Pasal 110  UU tersebut, legalitas yang harus dimiliki mencakup lahan SHM serta Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B). Padahal, kerap kali perkebunan sawit swadaya terindikasi berada di kawasan hutan sehingga sangat sulit memiliki SHM dan STD-B. 

"Inilah salah satu hambatan petani sawit menuju syarat ISPO. Omnibus law ternyata tidak bisa menyelesaikan semua," jelas Gulat.

Related Topics