NEWS

Piutang Pajak "Macet" Rp24,7 Triliun, BPK Ungkap Lemahnya Penagihan

Sri Mulyani beberkan penyebab besarnya piutang pajak macet.

Piutang Pajak "Macet" Rp24,7 Triliun, BPK Ungkap Lemahnya PenagihanShutterstock/Cahyadi Sugi
16 June 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti besarnya piutang pajak dengan kualitas macet dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021. Pasalnya, jumlah piutang macet yang ditetapkan pada akhir tahun lalu itu mencapai Rp24,79 triliun.

Bahkan, setelah melakukan pengujian, BPK berkesimpulan bahwa total piutang macet wajib pajak yang nilainya di atas Rp100 miliar mencapai Rp20,84 triliun.

"Hasil pengujian atas ketetapan pajak dengan kualitas “Macet” dengan nilai lebih dari Rp100.000.000,00 sebesar Rp20.848.672.190.679,90 menunjukkan belum dilakukan tindakan penagihan yang memadai," tulis BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPP 2021, dikutip Jumat (16/6).

Secara terperinci, BPK mencatat adanya 1.713 ketetapan pajak sebesar Rp2,18 triliun yang sama sekali belum dilakukan tindakan penagihan. Kemudian, terdapat 4.905 ketetapan pajak sekitar Rp3,68 triliun yang telah dilakukan tindakan penagihan dengan penerbitan Surat Teguran namun belum disampaikan Surat Paksa. 

Ada pula 13.547 ketetapan pajak sebesar Rp14,06 triliun yang telah dilakukan tindakan penagihan aktif dengan penerbitan Surat Paksa namun belum dilakukan tindakan penyitaan. 

Terakhir, terdapat 934 ketetapan pajak sebesar Rp918,50 miliar yang telah dilakukan tindakan penagihan aktif berupa penerbitan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) namun pelunasan piutang belum optimal. 

Menurut BPK, kondisi tersebut berpotensi mengakibatkan hilangnya penerimaan pajak minimal sebesar Rp20.848.672.190.679,90 apabila Kementerian Keuangan tidak segera melakukan tindakan penagihan aktif lebih lanjut. Terlebih piutang pajak bisa masuk dalam kategori daluwarsa penagihan.

Selain karena tidak optimal dalam melakukan tindakan penagihan dengan tidak menyampaikan Surat Paksa dan melakukan penyitaan; BPK menilai masalah piutang macet tersebut juga disebabkan tidak optimalnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam melakukan pengawasan berjenjang.

Penyebab lainnya adalah Belum dikembangkannya pengendalian secara sistem pada SIDJP yang secara otomatis memberikan notifikasi atas ketetapan pajak yang menjadi prioritas penagihan, khususnya yang akan daluwarsa penagihan; dan belum terintegrasinya sistem penagihan piutang PBB dengan SIDJP.

Tanggapan Sri Mulyani dan Rekomendasi BPK

Adapun atas permasalahan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan tanggapan bahwa beljm adanya tindakan penagihan dikarenakan administrasi masih dilakukan secara manual sehingga hanya mengandalkan ketelitian pegawai dalam pelaksanaan tindakan penagihan.

Kemudian, Menkeu juga menjanjikan akan melakukan penelitian atas Surat Tagihan Pajak (STP)—dalam hal ini Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)— dan akan dilakukan tindakan penagihan selanjutnya atas ketetapan yang belum daluwarsa penagihan.

Sementara itu, BPK merekomendasikan Menteri Keuangan agar menginstruksikan Dirjen Pajak untuk melakukan inventarisasi atas piutang macet yang belum daluwarsa penagihan per 30 Juni 2022 dan melakukan tindakan penagihan aktif sesuai ketentuan; serta menyusun mekanisme pengendalian pada SIDJP yang memberikan notifikasi atas seluruh ketetapan pajak yang akan daluwarsa penagihan.

Related Topics