NEWS

Sri Mulyani Waspadai Dampak Tingginya Harga Komoditas ke Inflasi

Lonjakan harga komoditas bikin bahan pangan lebih mahal.

Sri Mulyani Waspadai Dampak Tingginya Harga Komoditas ke InflasiANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/YU
20 January 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani mewaspadai tekanan harga komoditas terhadap kenaikan harga bahan makanan di dalam negeri. Meski saat ini inflasi domestik masih cukup rendah, hal tersebut patut diwaspadai karena dapat menyebabkan lonjakan jika harga jika tak bisa dikendalikan.

"Kita sudah mulai melihat beberapa tekanan dari harga komoditas merembes ke dalam negeri, seperti minyak sawit mentah (CPO) kepada minyak goreng di Indonesia," ujar Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Rabu (19/1).

Selain itu Sri Mulyani juga mewanti-wanti ancaman disrupsi pasokan global serta stagflasi. Kedua kondisi ini, kata dia, harus terus dipantau karena akan berpengaruh terhadap harga komoditas di Indonesia yang pada ujungnya dapat berdampak ke inflasi.

Pasalnya, stabilitas inflasi sangat penting agar pemerintah dapat fokus mengakselerasi pemulihan dan bisa bertahan saat terjadi tekanan harga di 2022 ini. "Ini yang menjadi strategi yang akan kami lihat," jelasnya. 

Selain disrupsi pasokan dan potensi stagflasi, kata dia, setidaknya terdapat tiga risiko penting lainnya yang mewarnai perekonomian global pada tahun 2022 dan 2023, yakni pengurangan pembelian aset (tapering) bank sentral AS, Federal Reserve; tapering di Eropa dan Inggris; serta perubahan kebijakan China.

Lantaran itu, kehati-hatian sangat diperlukan dalam mempertimbangkan kondisi global, selain melihat keadaan domestik. "Di dalam negeri pun sektor dan wilayahnya berbeda-beda pemulihannya, contohnya Bali yang sangat dalam efek COVID-19-nya karena sangat bergantung pada pariwisata. Begitu pula dengan sektor transportasi, hotel, dan restoran yang sangat rentan," kata Menkeu Sri Mulyani.

Ancaman Omicron

Di luar masalah tersebut, ada pula ancaman kenaikan kasus Covid-19 di sejumlah negara. Di India, misalnya, varian Omicron telah menyebabkan lonjakan kasus dalam beberapa hari terakhir.

Menurut Sri Mulyani, kondisi itu perlu diwaspadai karena gelombang kasus Covid-19 di Indonesia mirip dengan India. Hanya saj, dalam setiap kenaikan kasus seperti saat merebaknya varian Delta, India mengalaminya lebih dahulu.

"Saat varian Delta menyebar, kasus Covid-19 di India mulai naik pada Februari dan berakhir pada Juli 2021, jadi cukup lama. Dan peak kasus hariannya sangat tinggi di 250 ribu kasus per satu juta penduduk," kata Bendahara Negara.

Sementara, Indonesia mulai mengalami kenaikan kasus Covid-19 karena penyebaran varian Delta pada akhir Juni dan berlangsung sampai September 2021. Pada saat itu jumlah kasus Covid-19 harian Indonesia mencapai 150 sampai 200 per satu juta penduduk.

"Sekarang kita lihat India mulai merambat naik lagi karena Omicron, Indonesia relatif lebih flat. Kita berharap kita akan jaga terus dan ini Bapak Presiden beri perhatian ekstra terhadap perkembangannya," imbuh Sri Mulyani.

Meski demikian, Sri Mulyani juga melihat bahwa pembatasan kegiatan masyarakat di tengah penyebaran varian Omicron di beberapa negara tampak lebih longgar dibandingkan saat varian Delta. Pelonggaran ini, menurutnya, disebabkan oleh vaksinasi dan gejala Omicron yang tidak separah varian Delta.

"Sehingga kalau masyarakatnya tetap disiplin protokol kesehatan dan mau mengikuti vaksinasi apalagi booster, mereka percaya akan bisa melakukan aktivitas dan kegiatan ekonomi seperti biasa," ucapnya.

Karena itu pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19 pun diperkirakan akan terus berlanjut. Apalagi tidak seperti krisis tahun 1998 yang membutuhkan waktu lebih lama untuk pemulihan, krisis ekonomi akibat penyebaran Covid-19 jauh lebih cepat dipulihkan.

"Kelihatan sekali ekonomi kita down lalu recover, dipukul delta sempat down lalu recover. Jadi dalam hal ini resiliensi dan kemampuan recovery jauh lebih naik dibandingkan krisis tahun 1997 1998 tentu ini karena instrumen kebijakan kita sudah semakin lengkap," tandasnya.

Related Topics