NEWS

Wamenkeu Jelaskan Beda Data Transaksi Rp359,8 T dengan Mahfud MD

Kemenkeu klaim sudah koordinasi dengan PPATK.

Wamenkeu Jelaskan Beda Data Transaksi Rp359,8 T dengan Mahfud MDWakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kanan) bersama Deputi Pencegahan Korupsi KPK Pahala Nainggolan (tengah) dan Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan (kiri) dalam konferensi pers, Rabu (1/3). (ANTARA FOTO: Rivan Awal Lingga)
31 March 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE  - Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menjelaskan perbedaan data antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyangkut transaksi mencurigakan senilai Rp359,8 triliun. Salah satunya mengenai nilai transaksi mencurigakan yang diduga terafiliasi langsung dengan Kemenkeu. 

Data Kemenkeu sebelumnya dipaparkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di hadapan Komisi XI pada Senin (27/3), sementara data Mahfud MD yang juga menjabat Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) dipaparkan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III pada Rabu (29/3).

Dalam paparan Sri Mulyani, transaksi mencurigakan yang menyangkut pegawai Kemenkeu hanya Rp3,3 triliun dari total Rp359,8 triliun yang terjadi sepanjang 2011–2020. Sementara dalam paparan Mahfud, transaksi mencurigakan terkait pegawai Kemenkeu mencapai Rp35,54 triliun. 

Menurut Suahasil, perbedaan data tersebut disebabkan cara penyajian yang berbeda antara Kemenkeu dengan Mahfud MD—yang juga menjabat Komite TPPU. 

Meski asal-usul datanya sama, yakni 300 surat yang dikirimkan PPATK kepada Kemenkeu dalam kurun tersebut, ada 100 surat yang tidak dikirim secara lengkap kepada Kemenkeu.

100 surat dimaksud, dikirimkan secara lengkap—beserta nilai transaksinya—ke aparat penegak hukum (APH) di luar Kemenkeu seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Nilai transaksi mencurigakannya mencapai Rp74 triliun.

Sedangkan yang dikirimkan lengkap kepada Kemenkeu hanya 200 surat: terdiri dari 166 surat berupa transaksi keuangan dan 34 berupa laporan hasil analisis (LHA) dan laporan hasil pemeriksaan (LHP).

"Surat ke APH Kemenkeu tidak terima. Ada di situ ternyata, 45 terkait pegawai (terafiliasi)," ujar Suahasil dalam media briefing, Jumat (31/3).

Karena itu, hanya 200 surat—beserta perincian lengkap transaksinya—yang diolah Kemenkeu. Dari 200 surat itu, Kemenkeu kemudian mengklasifikasikannya menjadi dua. 

Pertama, 135 surat yang berkenaan dengan korporasi dan pegawai Kemenkeu dengan nilai transaksi mencapai Rp22 triliun. Kedua, 65 surat terkait transaksi mencurigakan korporasi dengan nilai Rp253 triliun. 

Kemudian, Kemenkeu memperinci 135 surat dengan nilai transaksi Rp22 triliun dengan mengklasifikasikannya lagi menjadi dua: transaksi yang hanya menyangkut korporasi dan transaksi yang hanya menyangkut pegawai. Transaksi korporasi mencapai Rp18,7 triliun sementara transaksi pegawai mencapai Rp3,3 triliun.

Angka Rp3,3 triliun itu yang belakangan menjadi perdebatan. Sebab, dalam paparan Mahfud MD, transaksi mencurigakan terkait pegawai Kemenkeu lebih besar: Rp35,54 triliun. Mahfud menjadikan transaksi korporasi dan pegawai Kemenkeu—baik yang datanya berada di surat ke APH maupun ke Kemenkeu—menjadi satu.

Musababnya jelas: dalam kasus TPPU, transaksi antara individu dan perusahaan tidak bisa dipisahkan karena bisa jadi saling berkaitan—pencucian uang pegawai Kemenkeu mungkin saja dilakukan lewat perusahaan-perusahaan yang akhirnya populer dengan terminologi "cangkang".

Suahasil lantas menjelaskan bahwa transaksi mencurigakan menyangkut pegawai Kemenkeu yang hanya Rp3,3 triliun valid. Sebab, setelah dilakukan pendalaman, tidak ada transaksi mencurigakan Rp18,7 triliun dari perusahaan-perusahaan tersebut yang terafiliasi langsung dengan pegawai Kemenkeu.

Adapun transaksi pegawai yang nilainya mencapai Rp3,3 triliun, setelah didalami, merupakan akumulasi debet-kredit pegawai termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga dan transaksi jual-beli untuk kurun waktu 2009-2023.

"Nah dari Rp22 triliun itu kan terkait korporasi kemarin ada yang mention cangkang. Padahal, yang Rp22 triliun itu korporasi," jelas Suahasil.

Berkoordinasi dengan PPATK

Meski demikian, Suahasil menegaskan bahwa proses klasifikasi tersebut juga telah melibatkan PPATK. 

"Jadi yang mau sampaikan saat ini adalah hubungan dengan PPATK kita lakukan dengan detail. Rapat dengan PPATK dilakukan dengan terstruktur. Ada notulen, ada catatan siapa yang hadir di rapat. Komplet," ujarnya. 

"Kemarin ada yang bilang ada yang ditutup-tutupi laporan yang ada pada kami semua ada dalam sistem Kemenkeu, dan ini kita bisa lakukan pelaporan satu per satu. Detailnya lagi yang tadi," katanya.

Related Topics