Purbaya Tak Gentar Berlakukan Bea Keluar Batu Bara Awal Januari 2026

- Beleid tetap akan diberlakukan meski ada pelaku usaha yang berkeberatan.
- Bea ekspor batu bara akan diterapkan berjenjang.
- Penerimaan dari bea ekspor batu bara akan digunakan untuk mendanai berbagai program publik.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan pemerintah tetap melangkah dengan rencana pemberlakuan bea keluar ekspor batu bara mulai awal Januari 2026. Beleid tersebut diambil demi menormalisasi penerimaan negara yang selama ini tergerus oleh skema restitusi pajak yang dinilai melampaui batas kewajaran.
Kebijakan ini akan bersifat berjenjang, mengikuti fluktuasi harga komoditas di pasar global. Dalam pembahasan awal, tarif yang diusulkan berkisar antara 5 persen, 8 persen, hingga 11 persen, bergantung pada harga batu bara acuan (HBA).
“Ini masih didiskusikan di level teknis, Perpres-nya juga sedang disiapkan,” ujar Purbaya dalam acara taklimat media di kantor Kementerian Keuangan, Rabu (31/12).
Pemerintah saat ini tengah merapikan formulasi akhir kebijakan tersebut. Meski implementasi ditargetkan mulai Januari, keputusan final mengenai besaran tarif baru akan dirampungkan paling lambat pekan depan menyusul banyaknya masukan dari berbagai pihak.
Dia menekankan adanya kemungkinan pemberlakuan secara surut jika diperlukan dari sisi fiskal. Logika utama pengenaan bea ekspor ini adalah mengoreksi kondisi saat negara justru mengalami penerimaan bersih (net) negatif dari sektor batu bara.
“Kalau saya lihat secara net, mereka bayar pajak, bayar PPh, bayar royalti, dan kewajiban lain. Namun, karena restitusi, ujung-ujungnya negara malah negatif. Artinya saya mensubsidi perusahaan batu bara yang sebenarnya sudah untung besar,” katanya.
Situasi tersebut dinilai bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Menurutnya, eksploitasi sumber daya alam tidak seharusnya justru membebani fiskal negara.
“Kalau tanah dan bumi diambil, lalu negara masih harus bayar juga lewat restitusi, dari sisi fiskal itu tidak masuk akal,” ujarnya.
Lonjakan restitusi pajak pada sektor batu bara disinyalir berakar dari perubahan regulasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan tersebut membuka ruang klaim restitusi skala besar yang dalam praktiknya dinilai telah melampaui batas kewajaran.
Kendati bersikap tegas, pemerintah menyatakan tidak berniat mematikan industri komoditas ini. Instrumen bea ekspor dirancang mencari titik keseimbangan antara kepentingan dunia usaha, negara, dan masyarakat luas.
Nantinya, penerimaan dari sektor ini akan dialokasikan untuk mendanai program publik, seperti penanganan bencana hingga sektor pendidikan.
“Tujuan kami hanya mengembalikan ke kondisi normal. [Para pengusaha batu bara itu] sudah untung banyak, ” katanya.


















