Indef Ungkap Surplus Listrik Jadi Sinyal Deindustrialisasi

- Surplus listrik menandakan pelemahan pada basis industri nasional.
- Pertumbuhan jumlah pelanggan PLN tidak diimbangi dengan peningkatan penggunaan listrik.
- Kondisi surplus listrik mempengaruhi efisiensi aset PLN dan beban subsidi negara.
Jakarta, FORTUNE — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti fenomena surplus listrik yang terus melebar dalam beberapa tahun terakhir sebagai indikasi melemahnya basis industri nasional. Kondisi itu dinilai menjadi sinyal serius bagi pemerintah, terutama dalam upaya menjaga ketahanan energi dan efisiensi fiskal.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development (FESD) Indef, Abra Talattov, menyatakan meski jumlah pelanggan listrik PLN terus bertambah dari tahun ke tahun, konsumsi listrik justru melambat. Artinya, pertumbuhan jumlah pelanggan tidak diikuti dengan peningkatan penggunaan listrik.
“Kecepatan jumlah pelanggan dan kecepatan konsumsi listrik ini tidak mampu seimbang,” kata Abra dalam Outlook Energi Indonesia 2026 yang disiarkan virtual, Selasa (9/12).
Data PLN yang dikutip Indef menunjukkan selisih antara listrik yang dibangkitkan dan listrik yang berhasil dijual terus melebar hingga 2022, menghasilkan kondisi surplus listrik. Fenomena ini tampak paling jelas di Pulau Jawa, dengan tambahan pasokan tidak diimbangi pertumbuhan permintaan.
Menurut Abra, kondisi tersebut mengonfirmasi dua hal: lambatnya pertumbuhan industri dan gejala deindustrialisasi. Sebab, industri seharusnya menjadi penyerap listrik terbesar dalam perekonomian.
“Peranan industri dalam konsumsi listrik makin menciut. Tahun 2000 industri menyerap 43 persen listrik, tapi pada 2023 tinggal 31 persen. Ini menunjukkan ekspansi industri berjalan lebih lambat,” ujarnya.
Abra menilai situasi surplus listrik tidak hanya berdampak pada efisiensi aset PLN, tetapi juga mempengaruhi beban subsidi negara. Selisih antara biaya pokok penyediaan (BPP) listrik dan harga jual terus melebar.
Pada 2023, selisih BPP dan harga ekonomi mencapai Rp444 per kWh, membuat sekitar 28 persen harga listrik yang dinikmati masyarakat disubsidi pemerintah.
“Transisi ke energi terbarukan belum tentu menurunkan BPP. Jika BPP naik, selisihnya makin besar dan otomatis beban subsidi juga makin berat,” ujarnya.
Porsi pengeluaran untuk listrik pada kelompok masyarakat terbawah pun mengalami peningkatan. Pada 2022, rumah tangga 20 persen terbawah mengalokasikan 1,7 persen pengeluarannya untuk listrik. Kemudian pada 2024, angkanya melonjak menjadi 3,2 persen.
“Ini jadi alarm bagi pemerintah. Ketika ada wacana mengalihkan subsidi ke energi terbarukan, harus dipikirkan dampaknya bagi masyarakat menengah ke bawah,” kata Abra.
Indef menilai sektor transportasi menjadi harapan untuk menyerap pasokan listrik yang berlebih. Adopsi kendaraan listrik meningkat pesat, dengan penjualan mobil listrik yang kini mendekati 10 persen dari total penjualan nasional, sementara jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) melonjak tiga kali lipat menjadi 3.200 unit pada 2024.
“Minat masyarakat terhadap mobil listrik makin tinggi, tapi ini harus diimbangi percepatan pembangunan SPKLU dan keandalan pasokan listrik,” kata Abra.
Berdasarkan RUPTL 2025–2034, pertumbuhan konsumsi listrik diproyeksikan 5,2 persen per tahun dengan skenario business as usual. Namun, selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan riil hanya mencapai 4,4 persen per tahun.
Indef mengajukan simulasi bahwa bila konsumsi listrik tumbuh 6 persen per tahun, Indonesia berpotensi menghemat beban fiskal hingga Rp14 triliun per tahun hingga 2034. Namun, skenario ini dianggap terlalu optimistis.
“Kita belum melihat bagaimana pemerintah menjawab persoalan dari sisi hulunya: bagaimana strategi mendorong konsumsi listrik agar mendekati target 5,2 persen itu,” ujar Abra.


















