JPMorgan Ramal Pasar Kerja 2026 Lesu, Asia Jadi Penopang

- Pasar tenaga kerja global diprediksi lesu pada 2026.
- AS mengalami pelemahan signifikan, Asia jadi penopang.
- PDB AS diperkirakan tumbuh 1,8 persen, sementara Asia lebih kuat berkat ekspor teknologi dan investasi AI.
Jakarta, FORTUNE - Pasar tenaga kerja global diprediksi memasuki persimpangan menentukan pada 2026. Berdasarkan laporan terbaru JPMorgan, pasar kerja Amerika Serikat (AS) diperkirakan mengalami pelemahan signifikan pada paruh pertama tahun tersebut sebelum mulai berbalik menguat pada akhir tahun.
Di sisi lain, kawasan Asia tampil sebagai wilayah yang lebih tangguh berkat kuatnya ekspor teknologi dan masifnya arus investasi terkait kecerdasan buatan (AI).
Pelemahan momentum penciptaan lapangan kerja di AS sepanjang 2025 dipicu oleh ketidakpastian bisnis yang muncul akibat kebijakan tarif dan perdagangan Presiden Donald Trump. Michael Feroli, kepala ekonom JPMorgan AS, menyatakan situasi ini menyulitkan perencanaan bisnis jangka panjang maupun pendek bagi perusahaan.
“Perusahaan ragu melakukan perubahan besar untuk memperluas atau mengurangi jumlah karyawan ketika mereka tidak yakin apa yang akan terjadi dalam enam bulan ke depan," ujar Feroli.
Pengetatan imigrasi serta kampanye deportasi yang agresif turut menekan suplai tenaga kerja di AS. Meskipun ambang kebutuhan rekrutmen bulanan menurun, tingkat pengangguran diprediksi tetap melonjak pada awal 2026.
“Paruh pertama 2026 kemungkinan akan mencatat pertumbuhan pasar tenaga kerja yang lambat dan kurang nyaman, dengan pengangguran memuncak 4,5 persen pada awal 2026,” demikian JPMorgan. Rilis data pekerjaan terbaru justru telah menunjukkan kenaikan pengangguran hingga menyentuh level 4,6 persen.
Secara keseluruhan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS pada 2026 diperkirakan mencapai 1,8 persen dengan peluang resesi satu berbanding tiga.
Pemulihan diprediksi baru akan terjadi pada paruh kedua tahun seiring konsistensi kebijakan tarif, pemotongan pajak melalui One Big Beautiful Bill Act, serta pelonggaran suku bunga Fed.
Kontras dengan AS, Asia memasuki 2026 dengan fondasi lebih beragam dan kuat. Sepanjang 2025, kawasan ini berhasil bertahan dari volatilitas berkat pelemahan dolar AS dan pengecualian tarif pada komoditas strategis seperti semikonduktor, elektronik, dan farmasi.
Pembangunan infrastruktur AI global menjadi katalis utama bagi eksportir teknologi seperti Taiwan dan Korea Selatan, serta pengembangan pusat data di Malaysia dan Singapura. JPMorgan menilai Asia Tenggara menawarkan peluang selektif dalam relokasi rantai pasok.
Namun, Cina masih harus bergulat dengan pasar tenaga kerja yang lemah dan rendahnya konsumsi rumah tangga, meskipun sektor ekspor teknologi tingginya tetap kompetitif.
Tantangan besar muncul dari fenomena investasi AI yang padat modal, tapi minim penyerapan tenaga kerja. Investasi pada peralatan dan pusat data belum menghasilkan lapangan kerja baru secara luas.
Geoffrey Hinton, pakar AI terkemuka, memperingatkan kemampuan teknologi ini untuk menggantikan pekerjaan manusia akan semakin nyata, terutama pada sektor layanan seperti call center.
Kondisi pasar tenaga kerja pada 2026 akan sangat bergantung pada kecepatan transmisi produktivitas AI ke dalam aktivitas perekonomian riil.
“Biasanya, diperlukan beberapa tahun bagi teknologi umum seperti AI untuk mendorong produktivitas. Realisasi manfaat efisiensi yang lebih cepat dapat menghasilkan pertumbuhan PDB yang lebih kuat dari perkiraan," kata Feroli.


















