NEWS

Gejolak Ekonomi Turki: Mata Uang Merosot, Inflasi Naik Membebani Warga

Presiden Erdogan ditengarai menjadi penyebab krisis ekonomi.

Gejolak Ekonomi Turki: Mata Uang Merosot, Inflasi Naik Membebani WargaAktivitas warga Turki di jalanan Tua Istanbul. Shutterstock/Phuong D. Nguyen
08 December 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Turki tengah mengalami gejolak. Mata uangnya, yaitu Lira, anjlok. Pada saat yang sama, inflasi membubung tinggi. Ada apa dengan perekonomian negara tersebut?

Melansir Asociated Press, Lira telah kehilangan 40 persen nilainya sejak awal tahun sehingga membuatnya menjadi salah mata uang dengan kinerja terburuk di dunia. Lira juga jatuh ke posisi terendah sepanjang masa terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan Euro.

Kemelut nilai tukar itu ditengarai terjadi akibat kebijakan ekonomi Presiden Recep Tayyip Erdogan. Pemerintahan Erdogan telah banyak dikritik karena memangkas suku bunga di tengah kenaikan harga (inflasi) barang konsumen.

Sebagai informasi, Turki merupakan negara yang masuk dalam daftar 20 perekonomian terbesar di dunia. Berdasarkan data Bank Dunia, nilai produk domestik bruto (PDB) negara tersebut pada 2020 mencapai US$720,10 miliar atau setara Rp10.261 triliun (asumsi kurs Rp14.250).

Kebijakan tak lazim

Mengutip BBC, penyebab keterpurukan Lira adalah kebijakan ekonomi Presiden Erdogan yang tak lazim: mempertahankan suku bunga rendah demi mendorong pertumbuhan ekonomi dan ekspor di tengah inflasi melambung.

Bank Sentral Turki memang sudah menurunkan suku bunga dari 16 persen menjadi 15 persen. Namun, di saat sama inflasi tahunan meningkat di atas 21 persen.

Bagi banyak ekonom, jika harga-harga barang naik, yang harus dilakukan demi mengendalikannya adalah menaikkan suku bunga. Akan tetapi, Erdogan yang telah berkuasa selama 19 tahun memandang kenaikan suku bunga sebagai "keburukan yang membuat si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin."

Dalam dua tahun terakhir, Erdogan bahkan telah memecat tiga pemimpin bank sentral. Ia juga baru saja mengganti menteri keuangannya.

Kebijakan ekonomi Erdogan juga berkebalikan dengan keputusan bank sentral sejumlah negara berkembang tahun ini. Bank sentral Rusia, Meksiko, dan Brasil telah menaikkan suku bunga demi mengadang inflasi serta mencegah dolar lebih kuat.

"Kami tidak melihat para pembuat kebijakan ingin berbalik arah, mencoba untuk mendapatkan kembali investor," kata William Jackson, kepala ekonom pasar negara berkembang di Capital Economics, kepada The Wall Street Journal, Selasa (7/12).

Ketika suku bunga lebih rendah dari tingkat inflasi, baik bisnis, konsumen, maupun investor khawatir terhadap daya beli mata uang yang akan terkikis. Mata uang yang melemah dengan cepat juga dapat menciptakan spiral inflasi karena mendorong biaya impor utama seperti makanan dan energi.

Berakibat pada beban masyarakat

Lalu, bagaimana dampak gejolak ekonomi tersebut kepada masyarakat? Dengan posisi inflasi sedemikian tinggi, harga barang-barang kebutuhan pokok melonjak, serta banyak orang di negara berpenduduk lebih dari 83 juta itu berjuang memenuhi kebutuhannya.

Turki sangat bergantung pada impor untuk memproduksi barang-barang sehingga kenaikan dolar akan berdampak langsung pada berbagai kebutuhan masyarakat.

Seorang warga, seperti ditulis AP, mengeluhkan kenaikan harga kebutuhan roti. “Dulu saya beli 10 roti, sekarang saya beli lima. Kami sudah menyerah mencoba membeli daging,” ujar Sinasi Yukselen saat mengantre di sebuah kios roti.

Tentu tak hanya memberatkan konsumen, produsen bahan makanan pun juga tertimpa nasib yang sama. Sadiye Kaleci, seorang petani anggur, mengatakan kepada BBC bahwa dia tak bisa untung dalam kondisi saat ini.

“Kami menjual dengan harga rendah, harga belinya mahal," kata perempuan dengan nada mengeluh. Sebab, demi menanam anggur, Sadive perlu membeli diesel, pupuk dan sulfur.

Related Topics