Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Mengenal Cancel Culture, Proses, dan Dampaknya

Ilustrasi cancel culture. (Pixabay/ Markus Winkler)
Ilustrasi cancel culture. (Pixabay/ Markus Winkler)

Jakarta, FORTUNE – Perkembangan teknologi, terutama media sosial, membawa banyak perubahan juga dalam sistem interaksi manusia. Salah satu yang sedang marak adalah berkembangnya cancel culture.

Mengutip Jurnal First Monday, volume 26, cancel culture adalah fenomena di mana organisasi menyensor, memecat, atau mendorong selebritas atau rakyat jelata untuk mengundurkan diri setelah melanggar norma sosial, adat istiadat, dan hal tabu.

Sementara, dalam Jurnal Communication and The Public, menganggap bahwa cancel culture ada dalam konsep Habermas tentang ruang publik, di mana publik diwacanakan sebagai ranah elit. Fenomena ini pun berasal dari bentuk wacana publik–baik online maupun offline.

Menurut profesor sosiologi dan kriminologi di Universitas Villanova, Dr. Jill McCorkel, cancel culture bisa didefinisikan sebagai fenomena masyarakat menghukum seseorang karena perilaku yang dianggap melanggar norma sosial yang berlaku. Hal ini adalah perpanjangan atau evolusi dari serangkaian proses sosial yang lebih berani, yang terlihat dalam bentuk pengusiran dan bertujuan untuk memperkuat seperangkat norma.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fenomena ini merupakan budaya memboikot seseorang yang dianggap bermasalah secara massal, misalnya saat orang tersebut mengatakan atau melakukan sesuatu yang dianggap tidak pantas atau menyinggung. Praktik pemboikotan massal ini biasanya juga diikuti dengan penghentian dukungan kepada orang tersebut.

Proses

Mengutip alodokter.com, secara umum ada tiga proses psikologis yang terjadi dalam diri seseorang, sebelum ia melakukan cancel culture, yakni:

  1. Menyadari bahwa terdapat hal-hal negatif pada korban.
  2. Merasakan berbagai emosi negatif, seperti kesal, sedih, dan marah yang kuat.
  3. Merasa harus menghukum atau menyakiti korban, akibat hal negatif yang dikatakan atau dilakukannya.

Fenomena cancel culture umumnya terjadi di media sosial. Semua orang bisa saja menjadi korban cancel culture, tetapi fenomena ini biasanya paling banyak dialami oleh tokoh-tokoh masyarakat, seperti politisi, aparatur negara, pemuka agama, hingga selebritas.

Selebritis di Korea Selatan sering jadi target cancel culture saat terungkap atau diduga melakukan tindakan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat, seperti melakukan kekerasan fisik, bully atau perilaku yang tidak pantas. Karena adanya kesepakatan bahwa kesalahan telah dilakukan, maka sekelompok individu secara kolektif enggan memberikan dukungan pada para target cancel culture dalam bentuk kehadiran, waktu, maupun uang.

Dampak

Fenomena ini ternyata tak hanya menjadi tren semata dan sebuah gerakan masyarakat, namun juga menimbulkan dampak bagi yang terlibat cancel culture. Untuk memahami hal ini, alodokter pun membaginya menjadi tiga sudut pandang:

  1. Dari sisi korban
    Bagi korban, fenomena ini bisa menjadi sarana untuk lebih memahami kesalahannya, memperbaiki kesalahan tersebut, dan mengambil langkah yang tepat agar ia tidak mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.
    Namun, bukannya membuat sang korban menjadi paham akan kesalahannya, fenomena cancel culture sringkali malah berubah menjadi perilaku intimidasi atau bullying kepada korbannya. Hal ini tentu bisa membuat korban merasa terkucilkan, terisolasi, bahkan kesepian. Tak menutup kemungkinan, korban pun akan lebih berisiko mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan bunuh diri.
  2. Dari sisi pelaku
    Fenomena cancel culture tidak selalu berhasil membuat korbannya sadar akan kesalahannya, apalagi jika pelaku cancel culture tidak memiliki hubungan yang dekat dengan targetnya.
    Justru praktik cancel culture seperti itu hanya akan membuat korban merasa lebih tertantang untuk mempertahankan ego dan reputasinya. Bila ini terjadi, maka pelaku cancel culture akan semakin merasakan berbagai emosi negatif, seperti kesal, marah, bahkan frustasi.
    Sementara itu, sebaliknya, cancel culture juga bisa menurunkan tingkat empati pelakunya. Biasanya, saat melakukan praktik cancel culture, pelaku akan cenderung menolak untuk mendengarkan atau memahami posisi korban.
  3. Dari sisi pengamat
    Tak hanya bagi pelaku dan korbannya, tapi cancel culture juga berdampak bagi pengamat atau orang yang sekadar menyaksikan fenomena tersebut. Terlalu sering melihat praktik cancel culture bisa menyebabkan seseorang diliputi ketakutan dan kekhawatiran bahwa dirinya bisa saja ditinggalkan oleh orang lain.
    Selain itu, pihak yang mengamati fenomena cancel culture juga bisa mengalami rasa cemas bahwa orang lain akan menemukan suatu hal pada dirinya yang bisa digunakan untuk melawannya di kemudian hari.

Demikianlah ulasan tentang cancel culture. Semoga bermanfaat.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bayu Satito
Ekarina .
Bayu Satito
EditorBayu Satito
Ekarina .
EditorEkarina .
Follow Us