Jakarta, FORTUNE - Praktik tambang timah ilegal di wilayah Kepulauan Bangka Belitung telah menimbulkan kerugian besar bagi negara, dengan nilai mencapai Rp300 triliun.
Angka fantastis tersebut berasal dari hasil penyelidikan Kejaksaan Agung terhadap aktivitas enam perusahaan smelter yang diduga terlibat dalam praktik penambangan ilegal di wilayah izin usaha PT Timah Tbk.
“Kita bisa bayangkan kerugian negara dari enam perusahaan ini saja, total potensi kerugiannya mencapai Rp300 triliun. Kerugian negara sudah berjalan Rp300 triliun. Ini kita hentikan,” kata Presiden Prabowo Subianto dalam keterangan resminya, Senin (6/10).
Pernyataan tersebut dia sampaikan saat menghadiri kegiatan penyerahan aset barang rampasan negara (BRN) kepada PT Timah Tbk di smelter PT Tinindo Internusa, Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, Senin (6/10).
Kasus ini bermula dari penyidikan Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi dalam tata kelola niaga komoditas timah pada wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015–2022. Dalam prosesnya, lima perusahaan smelter telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni:
· PT Refined Bangka Tin (RBT)
· PT Stanindo Inti Perkasa (SIP)
· PT Sariwiguna Bina Sentosa (SB)
· CV Venus Inti Perkasa (VIP)
· PT Tinindo Inter Nusa (TIN)
Dari hasil penyelidikan, BPKP dan ahli lingkungan hidup memperkirakan total kerugian negara mencapai Rp300,3 triliun. Angka tersebut terdiri dari Rp271 triliun akibat kerusakan lingkungan, serta Rp29 triliun kerugian finansial yang dialami PT Timah Tbk.
Berdasarkan catatan Kejaksaan, PT Timah Tbk memiliki wilayah IUP yang sangat luas, meliputi daratan dan lautan di Bangka, Belitung, Pulau Kundur, Kepulauan Riau, dan sebagian wilayah Provinsi Riau, dengan total area darat mencapai 288.000 hektare. Namun, tingkat produksi perusahaan pelat merah itu justru kalah jauh dibandingkan smelter swasta yang beroperasi di Kepulauan Bangka Belitung.
Fenomena ini menandakan adanya aktivitas tambang liar dalam wilayah konsesi PT Timah yang memotong jalur produksi resmi dan menguras potensi penerimaan negara.