Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Shutdown AS, Risiko Resesi dan Hambatan Data Bayangi Ekonomi

20251001_180746.jpg
Pemerintah AS Mengalami Shutdown. (x.com/nytimes).

Jakarta, FORTUNE - Pemerintah federal Amerika Serikat (AS) kembali berada di ambang penutupan (shutdown) pada saat yang genting bagi perekonomian. Perlambatan perekrutan tenaga kerja menimbulkan kekhawatiran akan resesi, sementara laju inflasi masih sulit dikendalikan. Ketua The Federal Reserve Jerome Powell pekan lalu menegaskan bahwa para pembuat kebijakan kini menghadapi tantangan besar dalam menavigasi ekonomi yang tengah bergejolak.

Dampak dan situasi shutdown kali ini dianggap berbeda. Biasanya hanya terbatas pada kerugian skala menengah karena pekerja federal yang sementara dirumahkan kehilangan penghasilan dan menekan daya beli. Namun, dengan kondisi ekonomi yang rapuh, penutupan berkepanjangan berpotensi menambah tekanan besar. Tidak hanya aktivitas ekonomi yang terganggu, terhentinya publikasi data resmi juga bisa menghambat pengambilan keputusan.

“Di masa stabil, ini bukan masalah besar. Namun, mungkin ini menjadi sedikit lebih penting sekarang,” ujar Marc Goldwin, Wakil Presiden Senior sekaligus Direktur Kebijakan di Committee for a Responsible Federal Budget, mengutip laporan ABC News.

Pada Senin (30/9), waktu setempat, para pemimpin Kongres bertemu Presiden Donald Trump di Gedung Putih dalam upaya terakhir untuk menghindari shutdown. Tetapi, dengan tenggat Selasa malam yang semakin dekat, jalan buntu politik membuat skenario penutupan hampir tidak terhindarkan kecuali terjadi terobosan mendadak.

Baik Partai Demokrat maupun Republik tetap bersikeras pada posisi masing-masing. Menurut Mark Zandi, Kepala Ekonom Moody’s Analytics, setiap pekan shutdown berpotensi memangkas pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil tahunan kuartalan sebesar 0,1 persen.

Sebagai catatan, paruh pertama 2025 ekonomi AS tumbuh rata-rata 1,8 persen per tahun. Artinya, butuh beberapa pekan shutdown agar benar-benar berdampak signifikan.

AS bukan pertama kali shutdown

Dilansir Reuters, sebelumnya shutdown pemerintahan berkepanjangan pernah terjadi di era Presiden Jimmy Carter pada kuartal keempat 1977 dengan total 31 hari dalam tiga bulan. Kala itu, pertumbuhan ekonomi sempat mandek akibat terbatasnya pengeluaran pemerintah. Namun, aktivitas kembali pulih pada kuartal berikutnya, dan konsumsi rumah tangga tetap bertahan bahkan tumbuh rata-rata 0,5 persen.

Pola serupa terlihat pada shutdown terpanjang sepanjang sejarah, yakni 35 hari pada akhir 2018 hingga awal 2019 di bawah Presiden Donald Trump. Konsumsi kala itu memang turun tipis rata-rata 0,3 persen, tetapi para ekonom menilai perlambatan lebih dipengaruhi faktor eksternal, seperti memudarnya efek pemotongan pajak serta perang dagang dengan Cina.

Secara historis, shutdown pemerintahan jarang benar-benar mengguncang perekonomian Amerika Serikat. Sepanjang sejarah, hanya dua kali penutupan pemerintahan berbarengan dengan kontraksi aktivitas ekonomi, yaitu shutdown dua hari pada November 1981 di era Presiden Ronald Reagan dan penutupan tiga hari pada Oktober 1990 di masa Presiden George H.W. Bush. Namun, dalam kedua kasus itu, ekonomi AS sudah lebih dulu terjerumus resesi sebelum shutdown berlangsung.

Dampak shutdown terhadap pasar tenaga kerja juga cenderung minim. Pada periode penutupan pemerintahan di era Trump, sempat terjadi lonjakan klaim tunjangan pengangguran jangka pendek dari pegawai federal yang dirumahkan, tetapi tidak merembet ke sektor lain. Data Departemen Tenaga Kerja mencatat hampir tidak ada perubahan berarti pada klaim baru maupun tingkat pengangguran nasional.

Shutdown pemerintah memang merepotkan dan berantakan, tetapi sedikit sekali bukti yang menunjukkan dampak signifikan pada ekonomi,” ujar Scott Helfstein, Kepala Strategi Investasi di Global X. “Biasanya, aktivitas ekonomi yang hilang, akan pulih pada kuartal berikutnya.

Selain menekan roda ekonomi, shutdown juga berisiko menurunkan kepercayaan konsumen. Berdasarkan analisis Committee for a Responsible Federal Budget terhadap survei University of Michigan, sentimen konsumen turun lebih dari 7 poin saat shutdown 2018. Pola serupa juga tercatat dalam tiga shutdown sebelumnya. “Sentimen konsumen biasanya menjadi indikator besar bagi konsumsi, dan konsumsi menyumbang sekitar 70 persen dari perekonomian AS,” papar Gerald Epstein, profesor ekonomi dari University of Massachusetts, Amherst, mengutip ABCNews.

Namun, jika krisis ini cepat berakhir hanya dalam hitungan hari, para ekonom menilai dampaknya akan tetap minim. Menariknya, pasar saham justru cukup tangguh menghadapi periode shutdown. Indeks S&P 500 bahkan sempat naik dalam empat shutdown terakhir, termasuk di 2018 ketika melonjak lebih dari 10 persen, kata Brian Gardner, Chief Washington Strategist di Stifel.

Di sisi lain, kebijakan moneter The Fed juga bisa terganggu. Departemen Tenaga Kerja AS menyatakan sebagian data ekonomi tidak akan dipublikasikan bila shutdown terjadi, termasuk laporan ketenagakerjaan bulanan yang dijadwalkan rilis Jumat ini.

Padahal, The Fed baru saja memangkas suku bunga bulan ini dan tengah berupaya menjaga keseimbangan antara menahan inflasi dan menopang pasar tenaga kerja. Powell menekankan bahwa perlambatan perekrutan pada musim panas lalu telah menggeser risiko utama dari inflasi ke sektor pekerjaan. Meski begitu, ia tetap mengingatkan bahwa ketidakpastian inflasi masih tinggi.

Jika akses data pemerintah terhenti, bank sentral terpaksa mengandalkan data dari sektor swasta. Kondisi ini, menurut Goldwin, membuat langkah The Fed lebih berisiko. “Mereka seperti berjalan di tali, mencoba memutuskan apakah harus menurunkan suku bunga atau tidak. Ketika visi sedikit kabur di sudut mata, itu sangat berbahaya,” katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pingit Aria
EditorPingit Aria
Follow Us

Latest in News

See More

Shutdown AS, Risiko Resesi dan Hambatan Data Bayangi Ekonomi

02 Okt 2025, 12:27 WIBNews