OJK Segera Terbitkan Izin Bank Syariah Muhammadiyah

Jakarta, FORTUNE - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa proses perizinan bagi pendirian bank syariah oleh Muhammadiyah masih berlangsung dan diproyeksikan selesai dalam waktu sekitar satu bulan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengungkapkan bahwa izin resmi diperkirakan segera diterbitkan.
“Iya sudah (diproses). Iya, kayaknya sudah mau keluar (izinnya) ini, enggak lama lagi. Mungkin sebulan ini lah saya kira sudah keluar,” ujarnya saat pembukaan BSI International Expo 2025 di Jakarta, Kamis, 26 Juni 2025.
Dian menambahkan bahwa Muhammadiyah berencana memulai pendirian bank dengan membentuk sebuah Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS). Namun, model bisnis dari bank tersebut masih dalam tahap evaluasi, termasuk kemungkinan untuk berkembang menjadi bank komersial berskala besar atau hanya beroperasi dalam lingkup internal organisasi, yang dikenal sebagai model close loop.
“Nah itu akan jadi prototipe sebetulnya. Jadi apakah nanti akan bergerak ke arah bank komersial yang gede itu sedang mereka pikirkan. Jadi sedang mereka pikirkan tergantung bagaimana, kan ada keunikan-keunikan organisasi,” katanya.
Tak hanya mendirikan entitas baru, Muhammadiyah juga berencana mengembangkan BPRS yang dikelola oleh Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka), yakni BPRS Matahari Artha Daya, menjadi perusahaan cangkang sebagai tahap awal transformasi menuju bank umum syariah.
“Iya itu akan menjadi. Nah setelah itu nanti akan ditransformasi. Itu sebenarnya ganti nama dulu, terus kemudian baru yang lainnya. Nanti mudah-mudahan bisa begitu. Nanti mungkin sampai bank umum juga,” ucapnya.
Dengan dukungan struktur kelembagaan yang kuat dan kebutuhan pasar yang jelas, pendirian Bank Syariah Muhammadiyah diyakini akan menjadi tonggak penting dalam pembangunan ekonomi syariah nasional dan penguatan kemandirian umat.
Pintu masuk konsolidasi BPRS
Wacana pendirian bank syariah oleh Muhammadiyah sudah bergulir setidaknya sejak tahun 2020, seiring munculnya pembicaraan awal soal kebutuhan independensi finansial, termasuk konsultasi internal dan rencana alih dana dari BSI. Rencana ini sebenarnya telah diamanatkan dalam Muktamar Muhammadiyah sebelumnya. Pada Muktamar Ke‑47 (2015) di Makassar dan diperkuat kembali pada Muktamar Ke‑48 (2022) di Solo, organisasi tersebut resmi menetapkan rencana pendirian bank syariah sebagai bagian penting dari pengembangan ekonomi persyarikatan.
Ketua Bidang Ekonomi PP Muhammadiyah, Mukhaer Pakkanna, menyampaikan bahwa pendirian Bank Syariah Muhammadiyah (BSM) bukanlah hasil penggabungan sejumlah bank, melainkan merupakan langkah transformasi dari satu Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) yang telah dimiliki organisasi. Dalam hal ini, BPRS yang berada di bawah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (Uhamka) akan dijadikan basis pendirian bank syariah tersebut dan ditingkatkan menjadi bank umum kategori buku 1.
“Jadi yang diambil itu BPRS-nya Uhamka, ditransformasi menjadi buku 1 dan seterusnya. Itu yang ditransformasi dan sudah disetujui OJK. Satu yang diambil, jadi bukan merger,” kata Mukhaer dalam keterangannya (28/6).
Saat ini Muhammadiyah tercatat memiliki sekitar 17 BPRS yang tersebar di berbagai daerah. Pilihan untuk menggunakan skema transformasi alih-alih merger didasarkan pada pertimbangan efisiensi proses, karena konsolidasi penuh dinilai terlalu rumit. Nantinya, BPRS lain akan masuk sebagai investor dalam bentuk penyertaan saham, sementara BPRS Matahari Artha Daya akan menjadi pusat integrasi.
Agar dapat beroperasi sebagai bank umum syariah buku 1, BSM harus memenuhi persyaratan modal inti sebesar Rp100 miliar. Ke depan, Muhammadiyah berambisi untuk mengembangkan bank ini menjadi entitas kategori buku 4, yang mensyaratkan permodalan minimum sebesar Rp1 triliun.
Meskipun demikian, aspek permodalan tidak menjadi hambatan berarti. Muhammadiyah telah lama dikenal memiliki kekuatan finansial yang signifikan. Ketika menjabat sebagai Ketua Bidang Ekonomi PP Muhammadiyah pada 2020, Buya Anwar Abbas memperkirakan nilai total aset Muhammadiyah mencapai sekitar Rp400 triliun. Aset tersebut mencakup dana tunai, tanah, gedung, kendaraan, serta jaringan amal usaha dan lembaga pendidikan.
Ekosistem yang dimiliki Muhammadiyah tersebar luas dan mencakup 170 perguruan tinggi, 400 rumah sakit, 340 pesantren, dan sekitar 28.000 lembaga pendidikan. Infrastruktur ini bukan hanya menjadi sumber potensi dana, melainkan juga menyediakan basis pasar yang kuat bagi pengembangan bank syariah berbasis komunitas.