TECH

Geliat Startup Agritech Menyokong Pertanian Indonesia

Startup agritech turut membantu memecahkan masalah industri.

Geliat Startup Agritech Menyokong Pertanian IndonesiaANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp
23 September 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Kalau perekonomian Indonesia dianalogikan sebagai kendaraan, sektor pertanian termasuk mesin penggeraknya. Dengan segala potensi di sektor tersebut, pemerintah bahkan menyusun kebijakan Rencana Strategis Kementerian Pertanian (Kementan) 2020-2024.

Strategi itu bertujuan menyokong ketahanan pangan, pertumbuhan ekonomi—termasuk kesejahteraan keluarga petani—serta meninjau keberlanjutan sumber daya pertanian. Tujuan pembangunan pertanian, yang memuat 9 sasaran strategis, jadi bagian darinya pula.

Di antara poin penting sasaran strategis dimaksud adalah pemanfaatan inovasi dan teknologi. Dalam Laporan Kinerja Kementan 2020, pemerintah bahkan menargetkan persentase implementasi inovasi dan teknologi pertanian (agritech) 70 persen pada 2021 dan 2022, serta 75 persen pada 2023 dan 2024.

Secara global, PBB meramalkan pertumbuhan populasi dari 7,79 miliar pada 2020 menjadi 8,18 miliar pada 2025. Secara nasional, mengutip proyeksi Bappenas, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta pada 2035. Bersamaan dengan kenaikan populasi itu, kebutuhan pangan niscaya meningkat.

Dengan kata lain, ketahanan pangan bukan lagi harga yang bisa ditawar-tawar. Karena itu, teknologi pertanian diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas pertanian.

1. Kerikil Menuju Ketahanan Pangan Indonesia

Beberapa kerikil yang berisiko memperlambat jalan menuju ketahanan pangan, menurut Indonesia Agritech Report 2020 dari lembaga riset CompassList, yaitu:

- Petani rentan dan rantai pasokan tidak efisien

Distribusi hasil panen dari tangan petani ke konsumen dapat melibatkan banyak tengkulak—maksimal 13 lapis—yang tiap lapisnya menjual produk dengan 10-20 persen margin kepada pembeli setelahnya. Tentu saja itu merugikan petani yang berada di lapisan terbawah rantai pasokan.

- Akses terbatas ke pembiayaan yang adil

Menurut Organisasi Pangan dan Agrikultur (FAO) PBB, sekitar 93 persen petani di Indonesia berada di level mikro, dengan modal kecil. Mereka dapat menggarap 0,6 hektare lahan, umumnya di area terpencil yang tidak tersentuh akses perbankan konvensional.

Bagi institusi finansial konvensional, banyak petani yang dinilai terlalu berisiko untuk bisa menerima pembiayaan atau kurang memenuhi syarat untuk membuka rekening bank demi memperoleh pinjaman. Pada akhirnya, itu menyulitkan para petani kecil mencari permodalan.

- Ketertinggalan di bidang pendidikan dan kurangnya bimbingan

Petani kecil dihadapkan dengan dilema. Di satu sisi, mereka harus menekuni pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang bersifat dinamis. Di sisi lain, kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan dengan latar belakang pendidikan terbatas. Oleh karena itu, diperlukan bimbingan dari pihak yang ahli.

- Kurangnya teknologi baru untuk pangan

Penggunaan beragam teknologi pertanian baru, seperti perangkat keras terkoneksi internet (Internet of Things) yang memiliki sensor otomatis sangat membantu proses pertanian. Aspek lain yang penting, yakni analisis berbasis data yang bisa memprediksi cuaca, iklim, tingkat salinitas air, dan kandungan nutrisi tanah.

2. Upaya Startup Agritech Pecahkan Masalah Pertanian

Selama enam tahun terakhir, berbagai startup di bidang teknologi pertanian muncul ke permukaan untuk memecahkan beragam masalah itu. Contohnya, TaniHub dan TaniFund yang merupakan bagian dari TaniGroup. Aplikasi TaniHub menghubungkan konsumen dengan buah dan sayur yang diproduksi oleh mitra petaninya. Startup itu juga menjual produk pertanian di Tokopedia dan Shopee.

Menurut Chief Marketing Officer TaniHub Group, Ritchie Goenawan, TaniHub kini telah menggandeng 50.000 petani di Indonesia. 4.000 di antaranya merupakan petani binaan melalui TaniFund, layanan pembiayaan platform. “Kami juga telah memiliki lebih dari 500.000 konsumen secara total (B2B dan B2C),” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Jumat (10/9).

Selain TaniFund, startup yang juga memberikan pinjaman kepada para petani, yakni Crowde (pinjaman mulai dari Rp10.000), iGrow, dan Growpal. Deretan startup itu telah menarik atensi para bank dan institusi finansial yang bergerak di sektor pertanian. Misalnya, Crowde telah menerima kucuran dana US$1 juta dari Mandiri Capital Indonesia, lengan investasi Bank Mandiri.

Pemain lainnya bernama 8villages, yang mengoperasikan jaringan informasi untuk petani serta menjajakan produk di toko virtual, RegoPantes. Ada pula Aruna, startup perikanan yang menjual hasil pancingan para nelayan di pasar laut kepada para pembeli internasional dari kalangan bisnis.

Untuk memecahkan masalah pendidikan dan kurangnya bimbingan, hadirlah startup seperti Karsa—yang memiliki situs media sosial mirip Facebook—tempat para petani dapat saling berbagi informasi dan tips terkait aktivitas pertanian.

Sementara, startup JALA mengembangkan berbagai produk dengan sensor dan memiliki basis data berbasis cloud. Alat-alat itu dapat membantu para petani mengukur pengeluarannya. Contoh, pembudi daya udang dapat mengatur jumlah pakan demi menjaga kualitas air, yang akhirnya mengurangi risiko kematian udang dan meningkatkan panen.

Related Topics