BUSINESS

Pabrik BATA Purwakarta Tutup, Asosiasi: Pasar Domestik Menantang

Harga bahan baku impor yang mahal harus jadi perhatian.

Pabrik BATA Purwakarta Tutup, Asosiasi: Pasar Domestik MenantangSalah satu gerai BATA. (Dok. BATA)
06 May 2024
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE –  PT Sepatu BATA Tbk (BATA) menghentikan operasional pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyatakan bahwa berhenti beroperasinya pabrik tak lepas dari kondisi Pasar Domestik yang menantang akibat pengenaan bea masuk tambahan bagi bahan baku pembuatan alas kaki (safeguards), terutama di periode 2019-2022.

Direktur Eksekutif Aprisindo, Firman Bakri, mengatakan meski kebijakan safeguards tidak diperpanjang sejak 2023, namun kondisi ini turut menyebabkan permohonan izin bahan baku industri tertunda lama. “Karena ada ketentuan verifikasi kemampuan industri. Di mana pabrik-pabrik yang akan melakukan importasi harus diverifikasi, oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh Kementerian Perindustrian,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Senin (6/5).

Tidak hanya itu, industri alas kaki kembali dikejutkan dengan Permendag 36 Tahun 2024, tentang aturan pengawasan/Lartas (larangan dan pembatasan) secara maksimal bagi sekitar 70 persen dari HS (Harmonize System) terkait industri alas kaki.

Firman mengatakan bahwa lartas ini menimbulkan beban bagi industri, seperti kepastian hukum terkait formula kuota izin dalam Permenperin 5/2024 yang tidak transparan dan berpotensi  kuota diberikan secara diskresi; serta menambah rantai birokrasi baru, yang mengakibatkan permohonan izin semakin panjang  dan menimbulkan biaya tinggi.

“Dengan penambahan beban lartas untuk bahan baku, produk alas kaki buatan Indonesia menjadi kalah harga dengan produk-produk, khususnya impor ilegal,” katanya.

Perhatian pemerintah

Ia menuturkan, penutupan pabrik BATA harus menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, industri alas kaki Indonesia perlu penyediaan bahan baku yang kompetitif, untuk bisa bertahan bahkan ekspansi.

“Tanpa dukungan bahan baku yang kompetitif, sulit bagi industri alas kaki bersaing dengan produk impor ilegal,” katanya.

Kendati, pendekatan birokrasi dalam penanganan impor ilegal dan tarik ulur ulur regulasi tata niaga dari border ke post-border dan kembali lagi menjadi border,bukan hal baru, namun ia berharap ada kebijakan pemerintah yang tidak  mematikan pelaku usaha. 

Berkaca pada penutupan pabrik BATA, nyatanya industri alas kaki menghadapi banyak tekanan dari menurunnya permintaan sepatu akibat inflasi, sehingga banyak masyarakat mengalihkan dananya untuk memenuhi kebutuhan pokok, terutama di masa Lebaran. 

Meski pabrik BATA di Purwakarta tutup, Firman menuturkan perusahaan akan tetap akan menjual produknya secara ritel. “Selain produksi di Purwakarta, Bata juga masih memiliki skema bisnis berupa order maklun (produksi melalui pabrik lain) untuk brand mereka,” katanya.

Alasan penutupan pabrik BATA

Dikutip dari keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), BATA mengumumkan penghentian aktivitas produksi pabriknya di Purwakarta, Jumat (3/5). Penutupan pabrik disebabkan kerugian yang  terus ditanggung perseroan selama empat tahun terakhir seiring tantangan industri akibat pandemi Covid-19 dan perubahan perilaku konsumen.

“Permintaan pelanggan terhadap jenis produk yang dibuat di Pabrik Purwakarta terus menurun dan kapasitas produksi pabrik jauh melebihi kebutuhan yang bisa diperoleh secara berkelanjutan dari pemasok lokal di Indonesia,” kata Corporate Secretary BATA, Hatta Tutuko, dalam laporan keterbukaan informasi, Jumat (3/5).

Dengan demikian, terjadia ketidak seimbangan antara kapasitas produksi dengan permintaan pasar. Perusahaan pun terpaksa menanggung kerugian operasional, walaupun, “PT Sepatu Bata Tbk telah melakukan berbagai upaya,” katanya.

Berdasarkan laporan keuangan per Desember 2023, rugi bersih perusahaan sepatu legendaris ini meningkat 79,57 persen jadi Rp190,56 miliar dari periode sama tahun sebelumnya yang tercatat Rp106,12 miliar.

Hal ini terjadi karena penjualan menurun hingga Rp609,61 miliar pada 2023 dibandingkan dengan periode 2022 yang mencapai Rp 643,45 miliar.

Related Topics