Inovasi Para Pelaku Industri EO untuk Bertahan Saat Pandemi
Walau tak mudah, namun nyatanya membuahkan hasil.
Jakarta, FORTUNE - Setahun lebih sejak pandemi merebak, industri Event Organizer (EO)—khususnya pameran—tak bisa menggelar hajat karena bisnis utamanya mengumpulkan massa, berseberangan dengan virus corona yang memburu inang sebanyak mungkin untuk terus bertahan.
Seperti tumbuhan layu, yang daunnya begitu mudah gugur, industri EO menyaksikan satu per satu perusahaan yang bernaung padanya rontok. Mengacu pada riset Inventure dan Alvara (2022), 1.218 pemain di industri diperkirakan merugi sekitar Rp2,69 triliun–Rp6,94 triliun akibat pandemi.
Pandemi laiknya musim kemarau panjang bagi industri EO seperti pameran dan festival musik. Maka ketika negara mulai mengumandangkan transisi menuju endemi, para pelaku siap menyambutnya dengan sejumlah inovasi.
Seven Events ubah strategi bertahan jadi melawan
Bak tanaman layu yang kembali tegak sehabis kena air. Begitulah kondisi Seven Events setelah menggelar GAIKINDO International Auto Show (GIIAS) 2021 usai dihantam kemarau industri pameran akibat pandemi.
“Kadang ketika pameran di masing-masing booth akan ada EO (event organizer) lagi. Mereka bilang, ‘kami berharap hanya buat GIIAS (2021), satu-satunya napas kami, kalau enggak jalan enggak tahu deh bagaimana hidup perusahaan’. Sama seperti saya,” ujar Presiden Direktur Seven Events, Romi, kepada Fortune Indonesia ketika ditemui di JCC Senayan (16/3).
Awalnya, Seven Events menerapkan strategi bertahan sembari melakukan efisiensi—gaji dikurangi bertahap, kebijakan WFH, menekan pengeluaran operasional. Tapi, berdasarkan perhitungan pada 2021, Seven Events diperkirakan hanya bisa bertahan hingga Desember 2021.
Romi dan tim mengubah strategi jadi melawan, bersikukuh mencari cara agar GIIAS 2021 terlaksana. Sebab, ajang tersebut melibatkan sekitar 10.000 pekerja. Jika acaranya kesampaian, akan terjadi efek domino bagi hotel dan restoran di sekitar lokasi acara di ICE Indonesia, BSD City, Tangerang. “Akhirnya GIIAS terjadi pada November 2021. Meskipun mundur dua kali (karena merebaknya varian Delta), dari Agustus ke September, lalu ke November,” kata Romi.
Lewat pengalaman ini, ada tiga pelajaran yang dipetik oleh Seven Events sepanjang pandemi: pelaku industri pameran harus konsisten saat berhadapan dengan ketidakpastian, harus berani mengambil risiko, serta siap bekerja dengan tenggat waktu singkat.
Format hibrida yang diterapkan Dyandra Promosindo
PT Dyandra Promosindo juga setali tiga uang. Perusahaan yang menjadi bagian dari Kompas Gramedia Group itu menyiasati ketidakpastian pandemi dengan inovasi model bisnis. Contohnya adalah menggelar pameran dengan sistem hibrida–perpaduan sistem online dan offline–untuk Indonesia International Motor Show (IIMS) Hybrid pada April 2021. Format itu akhirnya menjadi tolok ukur dalam penyelenggaraan acara selama pandemi, bahkan membawa perubahan ke depannya.
“Format hibrida ini bukan basa-basi atau alat negosiasi untuk dapat izin, tapi ini datang dari pemikiran kita bahwa bisnis ini memang harus berubah—bukan hanya mengandalkan offline. Itu pelajaran penting dari Covid-19,” jelas Presiden Direktur PT Dyandra Promosindo, Hendra Noor Soleh, kepada Fortune Indonesia (18/3).
Dengan metode pameran hibrida, jangkauan pasarnya meluas. Jika transaksi biasanya hanya datang dari Jabodetabek, IIMS 2021 mulai menyaksikan pembelian dari Riau, Aceh, Sulawesi. Hendra bilang, terlalu naif bila pemain melewatkan peluang itu. Inovasi seperti sistem tiket digital juga tak luput dari radar Dyandra Promosindo.
Lewat konsep seperti itu, Dyandra Promosindo tak hanya mengubah metode konvensional ke digital, tetapi meningkatkan SLA (Service Level Agreement) antara penyedia jasa dan pelanggan. Gaya tersebut bahkan juga sudah mereka terapkan ketika menjadi distributor tiket MotoGP Mandalika dan SuperBike. Dari hampir 5.000 tiket, 74 persen terjual per 18 Maret 2022.
Strategi metaverse Java Jazz Festival
Dewi Gontha, Direktur Utama Java Festival Production—penyelenggara Java Jazz—membocorkan adanya rencana para pelaku mengeksplorasi implementasi metaverse dan NFT dalam gelaran konser. Ini sejalan dengan temuan Inventure dan Alvara (2022) yang menyebutkan tren pelaksanaan acara dalam format metaverse akan semakin masif di tengah pertumbuhan adopsi penggunaan alat VR seperti Oculus.
“Saya pikir teknologi akan memainkan peran penting ke depannya. Di luar sudah ada beberapa yang mengerjakan itu (proyek menonton konser musik di metaverse),” ujar Dewi kepada Fortune Indonesia (17/3).
Dewi menganalogikan tiket NFT konser musik sebagai akses VIP. “Misalnya saya mengarang, beli NFT-nya Java Jazz kamu bisa dapat akses ke festival sekaligus bisa chat dengan musisi pilihan yang akan tampil, atau dapat merchandise khusus,” ungkapnya, walau pihaknya belum akan menerapkan itu dalam gelaran festival musiknya tahun ini.
Pada 27–29 Mei, Java Festival Production akan menggelar Java Jazz 2022, setelah absen selama setahun lebih. Tentu dengan menerapkan protokol kesehatan, seperti kewajiban vaksin penuh plus booster bagi para pekerja dan penonton, aturan antigen H-1 konser (per 17 Maret), tiket berformat digital, serta penggunaan masker jenis KN95, N95, atau ganda bagi penonton dan pekerja.
Kisah-kisah perusahaan pelaku industri EO seperti Sevent Events, Dyandra, maupun Java Festival Production menggambarkan optimisme besar gelaran pameran dan festival musik di tengah pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai. Ikuti kisah menarik ini selengkapnya di Majalah Fortune Indonesia edisi April 2022.