BUSINESS

Tiap Transaksi Bitcoin Bisa Makan Biaya Listrik hingga Rp1,7 Juta

Bitcoin bisa memicu krisis listrik di sejumlah negara.

Tiap Transaksi Bitcoin Bisa Makan Biaya Listrik hingga Rp1,7 JutaShutterstock/SPF
27 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Studi terbaru dari MoneySuperMarket, situs keuangan asal Inggris, menunjukkan besarnya konsumsi listrik yang digunakan untuk tiap transaksi mata uang kripto. Bitcoin, misalnya, disebut menghabiskan sekitar 1.173 kWh listrik untuk tiap transaksinya—mulai dari pembelian karya seni di NFT atau bahkan secangkir coffe latte.

Jumlah itu setara dengan tiga bulan konsumsi listrik rumah tangga di Inggris yang rata-rata per bulannya menghabiskan 350 kWh. Dan jika harga listrik per kWh di negara tersebut mencapai £0,11 atau 14 sen per kwH, maka biaya listrik untuk tiap transaksi bitcoin mencapai sekitar £125 atau US$173.

Sementara jika menggunakan tarif listrik rumah tangga Indonesia golongan 1.300-2.220 VA—tarifnya Rp1.467,28 atau sekitar 10 sen per kWh—tiap transaksi bitcoin bisa memakan biaya listrik hingga Rp1,7 juta.

Masalahnya, kata Alex de Vries, ekonom Belanda yang situsnya Digiconomist melacak jejak karbon Bitcoin, harga setrum untuk tiap transaksi bitcoin bisa lebih murah karena penambangannya dilakukan di negara-negara dengan tarif listrik lebih rendah.

"Saya memperkirakan rata-rata untuk penambang Bitcoin adalah 5 sen,” katanya seperti dikutip Fortune.com. "Itu pun masih angka yang tergolong tinggi. Banyak yang menambang di negara-negara berbiaya super rendah dengan harga 3 atau 4 sen." 

Dan dengan harga listrik 5 sen per kWh, biaya listrik per transaksi pun masih tetap mahal, meski telah turun dari $176 menjadi sekitar $100. Jumlah listrik yang dikonsumsi Bitcoin hanya untuk satu transaksi itu menimbulkan pertanyaan mendasar. Apakah menciptakan "mata uang" dengan menghabiskan semua energi itu merupakan model bisnis yang baik? 

Bencana Krisis Listrik

Selama ini, kelemahan dari Bitcoin adalah keterbatasan pasokan listrik di tempatnya diproduksi atau ditambang. Tak ayal, di beberapa negara, penambangan Bitcoin memberikan tekanan yang parah pada jaringan. 

Kazakhstan, salah satu pusat penambangan kripto terkemuka di dunia yang juga jadi tempat migrasi penambang dari China, mengalami pemadaman yang disebabkan oleh ledakan konsumsi tiba-tiba dari sektor industri. Pemerintah negara itu akhirnya membatasi sejumlah produsen dalam mengonsumsi listrik untuk industri mereka. Demikian pula di Iran yang mengalami kelangkaan parah hingga sejumlah produsen terpaksa diputus listriknya. 

Sementara itu, El Salvador yang sempat berjanji akan mensubsidi para penambang baru yang mengungsi dari China, mulai menaikkan harga listriknya. Karena jaringannya beroperasi pada kapasitas penuh, negara itu mengimpor setrum lebih dari 30 persen untuk menutupi kekurangan pasokan dari energi panas bumi dalam negerinya.

"Para penambang yang meninggalkan negara-negara ini perlu pindah ke negara lain, kemudian mereka akan mengacaukan jaringan di negara-negara baru," kata de Vries. "Kami sedang melihat bencana bergulir." 

Ancaman terbesar bagi Bitcoin, katanya, mungkin bukan jejak karbonnya tetapi bebannya dalam membebani jaringan listrik di seluruh dunia. Saat rumah menjadi gelap dan pabrik tutup, pemerintah akan bertindak, melarang atau sangat membatasi penambangan. Bitcoin tidak membutuhkan Halloween untuk memunculkan lebih banyak kejutan mengerikan seperti yang baru di Kazakhstan. 

Related Topics