QRIS dan GPN Dikritik AS, Ini Kata Menko Airlangga

- Pemerintah Indonesia menanggapi keluhan AS terkait QRIS dan GPN sebagai hambatan dalam hubungan dagang.
- Menteri Airlangga Hartarto menyatakan bahwa sistem pembayaran digital dirancang untuk inklusif dan terbuka bagi penyedia layanan internasional.
- Isu tersebut menjadi sorotan dalam negosiasi dagang antara Indonesia dan AS, dengan USTR menyoroti peraturan BI terkait QRIS dan GPN.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Indonesia menanggapi keluhan dari Amerika Serikat terkait sistem pembayaran domestik seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) yang dianggap menjadi hambatan dalam hubungan dagang kedua negara.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan sistem pembayaran digital di Indonesia dirancang untuk inklusif, adil, dan terbuka terhadap partisipasi penyedia layanan internasional.
"Terkait dengan QRIS atau gateway nasional, Indonesia sebetulnya terbuka untuk para operator luar negeri, termasuk Mastercard dan Visa," kata dia dalam Konferensi Pers dari Washington D.C, yang disiarkan secara virtual, Jumat (25/4).
Airlangga menyatakan tidak ada perubahan kebijakan pada sektor kartu kredit yang dapat dianggap sebagai diskriminatif. Sementara dalam sektor sistem gateway—yang menjadi perantara transaksi pembayaran—penyedia layanan asing diperkenankan untuk masuk, baik di sisi front end maupun dalam bentuk partisipasi lainnya.
“Ini sebenarnya bukan masalah kebijakan, tetapi lebih kepada penjelasan dan pemahaman,” jelasnya.
Ia menekankan Indonesia telah menerapkan prinsip level playing field, yang memastikan bahwa pelaku usaha asing maupun domestik diperlakukan secara setara dalam ekosistem keuangan nasional.
Kritikan Amerika Serikat terhadap QRIS dan GPN
Isu sistem pembayaran menjadi salah satu sorotan dalam negosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Tidak hanya QRIS, pemerintah AS juga menyoroti penerapan Gerbang Pembayaran Nasional alias GPN oleh Bank Indonesia (BI).
Hal ini dinilai menjadi salah satu penghambat dalam peningkatan hubungan perdagangan kedua negara.
Kritik terhadap sistem pembayaran Indonesia tercantum dalam Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) pada akhir Februari lalu.
USTR lebih banyak menyoroti peraturan BI ketimbang OJK. Misalnya, berdasarkan Peraturan BI Nomor 21 tahun 2019, Indonesia QRIS untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, menyatakan keprihatinan bahwa selama proses pembuatan kebijakan ini, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat dari potensi perubahan atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem semacam itu, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi dengan sistem pembayaran yang ada.
Sementara pada Mei 2023, BI mengamanatkan agar kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN dan mewajibkan penggunaan dan penerbitan kartu kredit pemerintah daerah.